Penulis: Zalvia Nur Hayati
Pada tanggal 1 Mei 1886 di Chicago, Amerika Serikat menjadi saksi dari puncak demonstrasi yang menjadi simbol keberhasilan gerakan buruh secara global. Keberhasilan ini kemudian diabadikan dalam Kongres International Labour Organization (ILO) pertama pada tahun 1889 di Paris, Prancis. Oleh karena itu, setiap tahunnya mengawali bulan Mei tepat pada tanggal 1 Mei di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Buruh, tak terkecuali di Indonesia. Peringatan Hari Buruh Internasional lebih popular dengan sebutan May Day, daripada Labour Day maupun Workey Day, meski demikian beberapa negara di dunia masih banyak yang menggunakan istiliah Labour Day maupun Workey Day yang pada dasarnya bertujuan yang sama dan merujuk pada Hari Buruh.
Hari Buruh atau May Day, berisi kegiatan-kegiatan yang menyulut emosionalisasi kebersamaan dalam perjuangan para buruh, selain itu May Day diperingati guna menghargai pencapaian bersejarah yang dilakukan oleh para pekerja dan pergerakan buruh di seluruh dunia. Selama ini peringatan tersebut menjadi simbol kesatuan dan persatuan dalam menghadapi tantangan yang dihadapi oleh para buruh untuk mencapai keadilan serta kesetaraan bagi semua buruh di seluruh dunia.
Di Indonesia peringatan May Day pertama kali dilakukan pada tahun 1920. Namun, setelah peristiwa G30S/PKI, peringatan ini tidak lagi diadakan karena gerakan buruh dianggap berkaitan dengan komunisme. Barulah pada tahun 1999 setelah rezim Orde Baru berakhir, maka Hari Buruh diperingati kembali. Meskipun demikian, gerakan buruh dalam era reformasi dihadapkan pada berbagai tantangan yang semakin berat, termasuk pertarungan dengan kepentingan negara dan pengusaha. Pada tahun 2014 Hari Buruh ditetapkan sebagai hari libur nasional hasil cetusan dari Presiden ke-6 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimanapun Hari Buruh pada esensinya bermakna sebagai momentum untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik dengan cara damai. Semisalnya, memperjuangakan kerja yang manusiawi dari yang semulanya kerja paksa atau perbudakan.
Hingga saat ini, pada banyak perusahaan di Indonesia, kondisi buruh masih jauh dari standar kesejahteraan yang layak terlebih lagi dengan hadirnya budaya yang menjadikan buruh hanya sebagai tenaga kerja kontrak yang rentan untuk kehilangan hak ekonominya tanpa adanya perlindungan yang memadai dari negara. Situasi ini semakin menegaskan bahwa buruh seringkali tidak dihargai atas dedikasi dan upayanya dalam mengembangkan perusahaan. Buruh lebih sering dilihat sebagai anatomi perusahaan daripada anatomi kemanusiaan.
Selama ini, perusahaan sering kali memandang buruh hanya sebagai alat untuk menghasilkan uang dengan cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan. Buruh sering dieksploitasi demi kepentingan bisnis semata, di mana buruh diperlakukan selayaknya objek untuk mendatangkan keuntungan tanpa memperetimbangkan hak-hak dan martabat keanusiaannya. Hal ini berasal dari impak atas kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh suatu perusahaan, termasuk antaranya adalah penggunaan sistem outsourcing atau kontrak alih daya, pasalnya masalah outsourcing terus mengemuka setiap kali memperingati May Day.
A. Inti Regulasi terhadap Praktik Outsourcing
Pada esensinya outsourcing adalah bentuk hubungan kerja yang termasuk dalam kategori Precarious Work, istilah yang biasa dipakai secara Internasional untuk menunjukkan situasi hubungan kerja yang tidak tetap, waktu tertentu, kerja lepas, tidak terjamin atau tidak aman dan tidak pasti. Outsourcing umumnya dilakukan untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dari yang semestinya diberikan sehingga merugikan pekerja/buruh. Praktik dalam perjanjian kerja outsourcing yang cenderung menggunakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)/kontrak membuat posisi pekerja outsourcing menjadi lemah karena memudahkan perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) jika dirasa pekerja tersebut tidak dibutuhkan lagi. Asal-usul istilah outsourcing dapat ditelusuri kembali pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Menurut beberapa penelitian lapangan, termasuk yang dilakukan oleh Tjandraningsih (2012) sebagaimana dikutip oleh Alnick Nathan (2019), mengemukakan bahwa sejumlah perusahaanmenggunakan tenaga kerja outsourcing dalam kegiatan inti dalam perusahaan seperti kegiatan produksi, sedangkan hal ini sebenarnya kontradiktif atau dilarang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam konteks regulasi, ketentuan mengenai outsourcing Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengalami judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang menghasilkan putusan No.27/PUU-IX/2011. Putusan ini kemudian diikuti oleh penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 yang bertujuan untuk mengatur pelaksanaan putusan MK tersebut, beserta dengan SE lainnya yang mengatur masalah outsourcing. Namun, meskipun adanya SE tersebut masih terdapat kelemahan dalam memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi tenaga kerja yang terlibat dalam sistem outsourcing, hal ini disebabkan karena SE bukanlah jenis peraturan perundang-undanagan yang diatur dala UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan melainkan hanya sebuah instrument administrative internal yang memiliki cakupan yang terbatas dalam memperjelas peraturan yang harus dilaksanakan Sehingga masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi tenaga outsourcing.
Pasca disahkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perhatian terhadap pengaturan mengenai outsourcing kembali meningkat. Undang-Undang ini menghapus beberapa ketentuan dalam outsourcing yang terdapat dalam Pasal 64 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetapi tetap mempertahankan Pasal 66 dengan beberapa perubahan. Meskipun beberapa pasal dihapus, pengaturan dalam pasal 66 menegaskan bahwa outsourcing masih diizinkan menurut undang-undang. Hal ini memberikan peluang yang lebih terbuka bagi jenis hubungan kerja outsourcing. Survei yang dilakukan oleh Cyrud Network bersama dengan Institute Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2020 mengenai persepsi publik terhadap RUU Cipta Kerja, khususnya terkait dengan penggunaan tenaga kerja melalui sistem outsourcing, menunjukkan bahwa sebesar 51,8% responden baik dari kalangan pekerja maupun pencari kerja percaya bahwaa RUU Cipta Kerja yang mengatur sistem outsourcing masih dianggap merugikan bagi pekerja. Saat ini, pengaturan mengenai outsourcing secara konkret dapat dilihat antara lain di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Alih Daya Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja khususnya (PP 35 Tahun 2021) BAB III tentang Alih Daya serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (PERPU 2 Tahun 2022), khususnya BAB IV tentang Ketenagakerjaan.
B. Implikasi Praktik Outsourcing bagi Buruh
Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membawa banyak perubahan di dalam hubungan perburuhan seperti yang telah dikaitkan pada pembahasan sebelumnya. Maka dapat dipastikan bahwa terdapat beragam permasalahan yang muncul dalam praktik outsourcing. Sejatinya hubungan kerja kontrak dan sistem kerja outsourcing adalah hal umum dalam dunia bisnis. Dari satu sisi, praktik outsourcing memungkinkan perusahaan untuk mengalihkan beban pekerjaan kepada pihak lain tanpa perlu menanggung biaya produksi tambahan yang besar dan di sisi lain outsourcing juga membuka kesempatan kerja yang besar bagi para pengangguran untuk membuka perusahaan layanan penyedia tenaga kerja yang dapat dikontrak atau outsourcing. Meski menguntungkan perusahaan, sistem outsourcing ini sangat merugikan buruh atau pekerja. Bahkan, di Indonesia dan banyak negara lainnya praktik ini sering kali memiliki dampak yang merugikan seperti fragmentatif, degradatif, diskriminatif hingga eksploitatif. Buruh atau pekerja berada dalam posisi yang lemah dibandingakan dengan perusahaan pemberi kerja. Beberapa ketentuan mengenai hak yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 masih banyak yang dilanggar dan tidak dipenuhi. Hal ini terjadi disebabkan oleh tidak adanya ancaman sanksi yang jelas dan tegas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemberi kerja dan perusahaan penerima kerja. Akibatnya, perusahaan dapat dengan mudah untuk melakukan pemberhentian kerja dan dengan tidak membayarkan upah sebagaimana ketentuan yang berlaku. Maka dari itu praktik outsourcing dapat memunculkan potensi eksploitasi melalui terjadinya hal-hal berikut:
1. Kontrak Tanpa Henti dan Rotasi Pekerjaan Tidak Pasti
Undang-Undang Ketenagakerjaan memperbolehkan sistem outsourcing dengan masa kerja maksimal 2 tahun Namun pada beberapa perusahaan sistem ini diakali sehingga bisa lebih dari 2 tahun. Umumnya di beberapa perusahaan, buruh rata-rata hanya dikontrak sekitar 1-3 kali tapi ada beberapa perusahaan di beberapa daerah khususnya pada Kepulauan Riau ada buruh dikontrak hingga 9 kali, selain itu di Jawa Barat ada buruh yang dikontrak hingga 15 kali. Hal ini terjadi disebabkan oleh buruh yang habis masa kontraknya di perusahaan ia bekerja, pedahal menurut ketentuan, seharusnya buruh tersebut diangkat menjadi buruh tetap, namun dalam hal ini buruh dialihkan statusnya menjadi buruh outsourcing dan diminta melamar kembali melalui perusaahaan penyalur tenaga kerja dan akan terulang sehingga buruh tidak akan pernah diangkat menjadi buruh tetap.
2. Peluang Kerja Terbatas Akibat Ageism
Ageism merupakan bentuk prasangka buruk terhadap usia seseorang dan menjadi faktor utama yang membuat buruh atau pekerja dianggap tidak cocok atau memumpuni pada posisi atau tanggung jawab tertentu dalam suatu perusahaan. Hal ini terjadi karena umumnya perusahaan hanya menerima pekerja dengan kisaran usia 18-35 tahun. Pedahal sejatinya menurut ketentuan pemerintah Indonesia, penduduk yang memasuki usia kerja dan memliki kesempatan bekerja adalah mereka yang berusia maksimal 65 tahun. Selama ini usia 18-55 tahun dianggap sebagai kelompok usia produktif dala dunia kerja. Namun, sistem kerja berbasis outsourcing seringkali memprioritaskan angkatan kerja yang lebih muda, menyebabkan peluang kerja di atas 35 tahun semakin sempit. Dengan adanya buruh atau pekerja yang terus-menerus dialihkan untuk melamar dan memulai kontrak baru dengan perusahaan, membuat mereka kehilangan kesempatan bekerja karena telah melewati ketentuan batas usia untuk melamar kembali. Maka buruh pun kehilangan kesempatan untuk bekerja.
3. Anomali terhadap Kepastian Kerja
Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dapat diadakan paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 1 tahun. Sedangkan setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, tidak ada lagi jangka waktu kerja, mengakibatkan tidak adanya kepastian kerja. Hal ini secara sah bertentangan dengan prinsip ketenagakerjaan dan negara hukum. Dengan begitu perusahaan memiliki keleluasaan untuk mengakhiri hubungan kerja/PHK sepihak bahkan sebelum kontrak pekerja berakhir, menyebabkan eksploitasi buruh dan kehilangan perlindungan yang layak.
4. Kesejahteraan Buruh dalam Praktik Outsourcing Melemah
Secara hukum, pekerja outsourcing merupakan karyawan tetap dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, bahkan gaji pekerja outsourcing dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja setelah memperoleh pembayaran dari perusahaan penerima jasa. Kendati demikian, tidak disangka jika pekerja outsourcing sering mengalami pelanggaran-pelanggaran hak yang dimilikinya atas kelalaian atau ketidakbertanggungjawaban dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerjanya. Dalam hal ini menyebabkan kontrak terus-menerus namun tidak ada jaminan atas pekerjaan dan jaminan atas penghasilan yang layak. Sehingga upah yang diberikan minimum dan tidak pernah naik. Bahkan, perusahaan pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon ketika masa kontrak selesai.
C. Defensi terhadap Buruh Outsourcing di Indonesia
Pemerintah memiliki tanggung jawab penting dalam menghentikan praktik outsourcing yang tidak etis dan meningkatkan kesejahteraan pekerja outsourcing di Indonesia. Pengawasan terhadap impelementasi outsourcing di lapangan perlu diperkuat untuk mencegah pelanggaran aturan dan penyalahgunaan sistem outsourcing. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa praktiknya sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merugikan para pekerjanya. Dalam hal ini, terdapat langkah-langkah yang dapat dijadikan suatu upaya dalam meminimalisasi adanya perusahaan yang semena-mena terhadap pekerjanya, antara lain:
- Mengadakan pengawasan terhadap ketenagakerjaan secara rutin dan konsisten serta eberikan teguran baik lisan maupun tertulis dalam bentuk laporan pemeriksaan. Teguran tersebut disampaikan kepada perusahaan penyalur pekerja dan perusahaan penerima pekerja yang tidak elek akan hukum dan ilegal, jika mempumpuni kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerja outsourcing perlu diberhentikan hingga persyaratan demi persyaratan terpenuhi sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
- Sosialisasi terkait pentingnya bagi perusahaan memahami konsekuensi hukum dari praktik ilegal yang tidak memenuhi syarat sesuai dengan regulasi yang berlaku. Serta, evaluasi terhadap kinerja perusahaan outsourcing untuk memastikan perusahaan tersebut memenuhi standar.
- Mengalihkan pelaksanaan outsourcing kepada perusahaan yang telah memenuhi verifikasi legalitas perusahaan. Dalam hal ini, memastikan perusahaan yang digunakan untuk outsourcing memiliki semua lisensi dan beroperasi secara legal. Dengan begitu, dapat membantu pekerja yang digunakan oleh perusahaan tersebut memiliki perlindungan hukum yang memadai.
Selain itu, perusahaan penyalur tenaga kerja maupun penerima tenaga kerja sudah semestinya memahami inti sari dari regulasi yang telah ditetapkan salah satunya yang terdapat pada UU Nomor 13 Tahun 2003 guna mensejahterakan pekerjanya, seperti:
1) Pasal 5 dan Pasal 6: Hak untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi;
2) Pasal 11 dan Pasal 12: Hak untuk memperoleh peningkatan dan pengembangan kompetensi serta mengikuti pelatihan;
3) Pasal 31: Hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan;
4) Pasal 50 s.d Pasal 66: Hak atas kepastian dalam hubungan kerja;
5) Pasal 77 s.d Pasal 85: Hak atas waktu kerja, waktu istirahat, cuti, kerja lembur dan upah kerja lembur;
6) Pasal 88 s.d Pasal 101: Hak berkaitan dengan pengupahan, jaminan sosial dan kesejahteraan;
7) Pasal 86 dan Pasal 87: Hak mendapat perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, serta perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta Hak memperoleh jaminan kematian akibat kecelakaan kerja;
8) Pasal 104: Hak berorganisasi dan berserikat;
Namun hingga saat ini Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia masih menghadapi keterbatasan dalam hal jumlah tenaga pengawas untuk melaksanakan tugas tersebut. Selain itu, kurangnya sanksi hukum yang efektif dalam penegakan regulasi terkait outsourcing. Bahkan ketika pemerintah menjalankan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, peraturan tersebut belum menetapkan sanksi yang cukup kuat bagi perusahaan yang melanggar.
Walau terdapat beragam dinamika permasalahan dalam memperjuangkan hak buruh, buruh tetap merupakan aset besar bagi setiap bangsa yang perlu dihargai esensinya dan diakui kontribusinya. Sehingga tidak ada kata berhenti dalam memperjuangkan setiap haknya.
“Orang-orang Indonesia yang takut kepada gerakan Kaum Buruh sebenarnya ia sendiri adalah penindas buruh”
-Ir. H. Soekarno
SUMBER REFERENSI
Astesa, D. 2021. PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN ALIH DAYA TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING YANG DI PHK SEPIHAK DALAM MASA KONTRAK. URL:https://lpmazas.umm.ac.id/id/pages/artikel- tentang-hukum/pertanggungjawaban-perusahaan-alih-daya-terhadap-pekerja-outsourcing-yang-di-phk- sepihak-dalam-masa-kontrak.html. Diakses tanggal 26 April 2024.
Habibi, N., Amrizal, R. D. M., Rozikin, S. I. dan Ahmad, F. I. 2024. Memperkuat Perlindungan Pekerja Outsourcing: Analisis Implementasi Kebijakan. Journal of Social Movements. 1(1):85-97.
Husin, Z. 2021. Outsourcing sebagai Pelanggaran atas Hak Pekerja di Indonesia. Jurnal Kajian Pembaharuan Hukum. 1(1):1-24.
Malikah, A. 2021. HAK KESEJAHTERAAN PROGRESIF UNTUK BURUH. Jurnal Kajian Isla Interdispliner. 1(1):49-55.
Pratiwi, B. W. dan Andani, D. 2022. Perlindungan Hukum Tenaga Kerja dengan Sistem Outsourcing di Indonesia. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. 29(3):652-673.
Suhartoyo, S. 2018. Penguatan Organisasi Buruh/Pekerja sebagai Sarana Perlindungan Buruh. Administrative Law and Governance Journal. 1(4):350-362.
Taufik, A. N. R. 2021. OUTSOURCING DAN HAK-HAK PEKERJA YANG TERABAIKAN. URL: https://emancipate.id/blog/outsourcing-dan-hak-hak-pekerja-yang-terabaikan/. Diakses Tanggal 26 April 2024.
Wibawana, A. W. 2024. Kenapa Tanggal 1 Mei Diperingati sebagai Hari Buruh atau May Day?. URL: https://news.detik.com/berita/d-7310646/kenapa-tanggal-1-mei-diperingati sebagai-hari-buruh-atau-may-day. Diakses tanggal 26 April 2024.