Penulis Zalvia Nur Hayati (Ilmu Pemerintahan '23)
Usai euforia perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-79, saat ini Tanah Air ini dilanda oleh situasi yang sangat mendesak. Pasalnya, terjadi krisis kepercayaan penguasa politik oleh publik. Polemik demi polemik hingga ke penjuru dunia seolah tidak berhenti berputar dalam menyuarakan suatu peringatan dengan latar belakang biru yang berisikan gambar Burung Garuda disertai tulisan “Peringatan Darurat”. Hal ini disebabkan oleh manuver politik yang terkesan mematikan demokrasi. Intimidasi dan apatis, itulah gambaran sederhana situasi yang tengah terjadi di Indonesia.
Seolah hilangnya kepercayaan, sejumlah instansi pun dengan gagahnya ikut menyatakan kekecewaan mereka dengan turut menyampaikan “Peringatan Darurat” bergambar Burung Garuda itu di papan reklame digital yang tersebar di setiap perlintasan jalan publik.
Pada tanggal 20 Agustus 2024 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan mengenai Pemilihan Kepala Daerah terkait dua hal yaitu yang pertama UU Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah yang membahas perihal partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan minimal 20% kursi di DPRD atau 25% suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Lalu yang kedua, UU Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai Pengujian Ketentuan Persyaratan Batas Usia Minimal Calon Kepala Daerah yang berisi calon kepala daerah tingkat provinsi atau calon gubernur berusia minimal 30 tahun ketika ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai kandidat resmi. Keputusan ini menyita perhatian publik, karena terdapat banyak asumsi jika keputusan ini sebagai langkah tepat dalam pemulihan citra dan memperbaiki persepsi publik terhadap MK setelah manuver pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu.
‘Keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, berlaku untuk semuanya’, pernah melihat atau mendengar penggalan kalimat tersebut? Ya, itu merupakan isi dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 24C dan bahkan kalimat ini pernah disuarakan oleh Presiden Joko Widodo ketika berhadapan dengan pers.
Bagaikan patah pucuk, pada tanggal 21 Agustus 2024 setelah adanya putusan MK, secara mendadak Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk membahas Revisi Undang-Undang (RUU) perihal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). DPR menganulir dua putusan MK, yaitu yang pertama mempertahankan ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% suara sah bagi partai yang memiliki kursi di DPRD, namun pada pengusungan oleh partai tanpa kursi di DPRD disampaikan seperti putusan MK, sederhananya terkait ini mereka ingin mengembalikan ke peraturan lama. Selanjutnya mengenai minimal usia calon kepala daerah, DPR menyetujui usia kandidat sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung (MA) yaitu usia 30 tahun ketika dilantik. Bisa dibayangkan, betapa singkatnya penyusunan itu mengingat hanya satu hari, apakah bedasar pada pertimbangan secara keseluruhan dan dokumen ilmiah, serta hasil dari suara rakyat atau hanya untuk mencuri peluang yang memilukan bagi segelintir pihak.
Dalam lagu .Feast yang berjudul “Dapur Keluarga” terdapat lirik yang berlantun “Tidak ada yang tidak untuk sang anak / Si bungsu lantas bahagia...” cukup untuk merepresentasikan keresahan yang tengah diemban oleh rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan pada 20 Agustus 2024 lalu, Kaesang Pangarep selaku Ketua Umum PSI tengah mengurus berkas-berkas persyaratan untuk maju menjadi calon wakil gubernur Provinsi Jawa Tengah pada 2024 mendatang. Kaesang Pangarep yang saat itu telah didukung sejumlah partai politik dan berusia 29 tahun saat ini, berpeluang sangat besar untuk maju. Namun, ketika MK melayangkan keputusan itu, Kaesang Pengarep pun terancam tidak bisa maju. Sehingga, rakyat melihat ada bentuk penyelamatan peluang yang hampir gugur dengan berusaha mengotak-atik keputusan MK, berkedok memperjelas kalimat multitafsir dan menambah diksi agar anak pemimpin negara ini bisa tetap maju. Sehingga “kebetulan” ini tidak bisa dibantah oleh publik, mengingat kejadian masa lampau yang seolah membodohi rakyat. Sehingga, kejadian serupa harus dicegah sebelum berlanjut sengsara.
Setelah hingar-bingar persepsi publik, tagar #KawalPutusanMK pun mulai mendominasi seluruh media. Hal ini disertai oleh aksi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa se-Indonesia di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka menolak pengesahan RUU dan meminta DPR untuk patuh terhadap putusan MK. Tidak hanya mahasiswa, berbagai tokoh publik, artis, akademisi dan politisi pun juga ikut serta dalam menyuarakan ketidakpastian ini. Sehingga kekacauan tidak dapat dihindari, walau sampai bertumpah darah sekalipun aksi ini tidak juga pudar dan terus menjadi pemberitaan di media massa. Menandakan aksi ini kekal hingga DPR memberikan reaksi dan membereskan keresahan ini. Semulanya, DPR hendak mengesahkan RUU Pilkada ini melalui rapat paripurna pada hari Kamis, 22 Agustus 2024. Namun, rapat paripurna tak kunjung dimulai karena jumlah anggota rapat tidak memenuhi kuorum. Sehingga, di hari yang sama Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memberikan pernyataan bahwa pengesahan RUU Pilkada yang direvisi batal dilakukan dan putusan MK akan berlaku. Mengingat rapat paripurna hanya dapat dilaksanakan pada hari Selasa dan Kamis sehingga tidak mungkin melaksanakan rapat paripurna pekan depan mengingat hari itu juga bertepatan dengan pendaftaran Pilkada.
Namun, apakah rakyat dapat menerima dengan sedangkal itu? Tentu tidak, sebagian ucapan yang dikeluarkan oleh elite politik tidak luput dari ingkar dan hanya ingin menurunkan tensi rakyat yang tengah menggebu-gebu. Bedasarkan pernyataan Wakil Ketua DPR RI, adanya pengesahan ini akan dibatalkan untuk periode ini. Akan tetapi, bisa saja maksud dibatalkan itu hanya mengenai jadwal, bukan secara menyeluruh. Sehingga aksi demonstrasi ini terus berlanjut untuk menuntut DPR mengeluarkan pernyataan atau dokumen resmi mengenai pembatalan pengesahan RUU Pilkada.
Mungkin benar, Indonesia sudah merdeka, tetapi hanya untuk elite politiknya saja, sedangkan rakyat? Sebagai hiasan semata dan pelengkap negara. Bisa saja lupa, jika rakyat yang dicemoh dan dipermainkan, merupakan penghasil kenikmatan yang sekarang dinikmati oleh penguasa politik itu sendiri. Pedahal untuk menghasilkan pundi-pundi rupiah demi membayar pajak negara harus pontang-panting bersimbah peluh akibat diskriminasi pekerjaan yang luar biasa hanya untuk pekerjaan yang mungkin upahnya tidak seberapa. Tetapi dengan mudahnya persyaratan untuk menjadi kepala jabatan politik diubah semena-mena hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, meskipun prosedurnya sesuai. Bahkan tidak bisa dipastikan apakah setelah dilantik esensi jabatan tersebut benar-benar terlaksana atau hanya menjaga ikatan jabatan turun-temurun agar tidak terputus. Menjadi pejabat negara memang berat, sehingga harus benar-benar ada dedikasi agar tidak salah langkah dalam menyelesakan permasalahan dalam negara. Namun, bagaimana jika sejak awal sama sekali tidak ada rasa ketertarikan untuk ke ranah politik lalu seperti menelan ludah sendiri, tiba-tiba ingin berada di posisi yang tinggi pada jabatan politik? Bagaimana rakyat harus memahami ketidakpastian ini, ketika dampaknya sangat menakutkan. Bagaimana rakyat Indonesia dapat bungkam jika nasibnya berada digenggaman tangan itu.
Bayangkan, betapa kejinya yang terjadi saat ini. Sebanyak ratusan massa aksi dan mungkin masih banyak yang tidak terhitung jumlahnya telah ditahan oleh aparat dan bahkan dihalangi untuk mendapatkan perlindungan hukum. Seorang penguasa politik menyatakan jika ia datang untuk menyelamatkan para massa yang ditahan, nyatanya telah diatur sedemikian rupa, massa yang ditahan seharusnya dapat bebas lebih awal namun harus menunggu tokoh politik itu datang, sehingga terkesan seperti massa telah “diselamatkan”. Banyak tokoh publik yang dihubungi untuk menjadi buzzer, agar dapat mengiring opini jika tidak ada yang salah dengan kondisi politik di Indonesia bahkan dengan bayaran yang fantastis dan tidak masuk akal, mirisnya jauh lebih besar dari bayaran para guru honorer yang mencerdaskan bangsa. Kondisi rakyat Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, namun yang diberi perhatian dan ditangani dengan kebut justru gedung DPR RI yang merupakan asal mula kegaduhan ini terjadi dan tempat wakil rakyatnya berpijak, bukan rakyatnya.
Ini bukan lagi sekadar perihal individu atau kelompok yang ingin merebut kekuasaan, namun perihal bagaimana cara menjaga konstitusi negara agar tidak dilecehkan oleh pembuatnya sendiri. Benar, jika semuanya ada pertimbangan, tapi atas dasar menyejahterakan rakyat atau elite politiknya saja.
“Tapi setidaknya, seorang petarung sejati akan memilih jalan suci. Meski habis seluruh darah di badan, menguap segenap air mata, dia akan berdiri paling akhir demi membela kehormatan.”
– Negeri di Ujung Tanduk / Tere Liye
Daftar Pustaka
CNN Indonesia. (2024, Agustus 22). Isi revisi UU Pilkada: 2 Poin Krusial Versi DPR dan MK. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240822155831-32-1136266/amp
CNN Indonesia. (2024, Agustus 23). Pernyataan Lengkap DPR Batal Ketok RUU Pilkada, Patuh Putusan MK. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240822100836-32-1136048/pernyataan-lengkap-dpr- batal-ketok-ruu-pilkada-patuh-putusan-mk
Romadhona, S. (2024, Agustus 23). #kawalputusanmk: Ini Kata Pakar Umsida Terkait 2 Putusan MK. UMSIDA. https://umsida.ac.id/kawalputusanmk-kata-pakar-umsida-tentang-2-putusan-mk/