Penulis
Princess Nadhira Nabila | Rahmadina Badriniar Jannah
Latar belakang terjadinya serta pengertian tentang Golput.
Golput sebuah istilah yang selalu digaungkan oleh beberapa oknum ketika mendekati Pemilihan Umum. Golput atau Golongan Putih merupakan fenomena yang selalu dibahas secara detail setiap pemilu. Kenyataan saat ini membuktikan bahwa dalam setiap pemilu sejak tahun 1955 hingga saat ini, dalam pemilu, selalu terdapat banyak pemilih tidak sah atau warga negara yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di beberapa Negara di dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, disamping dimanifestasikan dalam bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah, partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga banyak ditemui di Negara-negara yang menerapkan hukum wajib mencoblos seperti Australia, Belgia, Italia, Brazil dan beberapa negara lainnya.
DI Indonesia, Golongan Putih sendiri dilatarbelakangi oleh tokoh pegiat yang menjadi motor penggerak gerakan ini adalah Arief Budiman yang didampingi beberapa pemuda lain, seperti Imam Waluyo, Julius Usman dan Husin Umar. Ajakan untuk golput itu disampaikan di Gedung Balai Budaya Jakarta. Pamflet dengan tema 'Tidak Memilih Hak Saudara', 'Tolak Paksaan dari Manapun', dan 'Golongan Putih Penonton yang Baik' banyak bertebaran di ibu kota kala itu. Pada tahun-tahun berikutnya bahkan sampai saat ini, istilah golput begitu terus melekat di masyarakat. Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah pada saat itu, pada saat menjelang pemilu tahun 1971.

Tingginya angka golput menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan dan kredibilitas calon terpilih. Akibatnya pemerintah daerah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik karena kurangnya dukungan politik. Sebaliknya, raihan suara yang meyakinkan, akan meningkatkan kepercayaan diri dan kredibilitas seorang pemimpin daerah. Dengan dukungan politik yang cukup besar, ia bisa melaksanakan amanat dan janji politiknya dengan keyakinan tinggi. Golput bukan hanya disebabkan keengganan untuk memilih, namun juga bisa terjadi karena berbagai halangan, misalnya disabilitas. Untuk itu, perlu dibangun kesadaran, misalnya, untuk memberikan akses yang layak bagi pemilih disabilitas. Sebab mereka pun adalah warga negara yang memiliki hak politik untuk memilih, yang dijamin oleh konstitusi.
Dari tahun ke tahun, golput selalu menjadi persoalan. Karena tidak semua keputusan golput berangkat dari gerakan moral atau idealisme yang murni. Pemilu pasca Reformasi, orang menjadi golput juga bukan karena idealisme, tapi kondisi yang memaksa dirinya tak mencoblos. Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen. Pada Pemilu 2024, pemilih yang terdaftar didominasi oleh pemilih muda. Berdasarkan data KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda dapat pemilu 2024, yang artinya sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.
Golput dibagi menjadi beberapa kategori:
1. Golput ideologis. Artinya, pemilih merasa kedua pasangan calon tidak ada yang sesuai dengan ekspektasinya. Dapat diartikan sebagai kondisi dimana seorang pemilih tidak puas dengan kinerja Paslon A namun juga tidak cocok dengan Paslon B.
2. Golput teknis. Pemilih tidak memilih karena terkendala hal-hal teknis. Misalnya, pemilih yang tidak mengetahui waktu pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2019 hingga terkendala terkait Kartu Identitas Penduduk elektronik (e-KTP). Seperti diketahui, e-KTP merupakan salah satu syarat utama bagi WNI untuk bisa memilih di Pemilu 2019.
3. Golput apatis, mereka cuek tidak mau datang ke TPS atau karena dari individunya sendiri yang tidak peduli dengan pesta demokrasi karena tidak tertarik dengan proses pemilu. Yang kita lihat, pemilih yang golput apatis ini didominasi oleh pemilih dengan usia muda," ungkap dia.
“Kan cuma satu suara, jadi seharusnya tidak berpengaruh?” Terkadang pemikiran seperti ini juga menjadi pemicu tingginya golput. Padahal, satu suara bisa menjadi penentu kemenangan pihak tertentu dan bisa mengubah negara ini agar lebih baik lagi.
Walaupun pantangan hanya sekedar fenomena dan belum bisa digolongkan secara akademis, namun pada bab ini saya ingin menjelaskan terlebih dahulu pengertian dan jenis golongan putih atau pantang berdasarkan sudut pandang pengamat. Alternatifnya, sering kali diartikan sebagai sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai peserta pemilu.
Persentase generasi muda serta pengaruh signifikannya terhadap pemungutan suara atau tingkat golputnya
Pada Pemilu 2019 bahwa partisipasi pemilih ada peningkatan pemilih pada Pilpres 2014 sebanyak 70% dan Pileg 2014 sebanyak 75%, meningkat pada Pemilu 2019 sebanyak 81%. Dari partisipasi pemilih tersebut tidak lepas dari partisipasi pemilih muda. Pemilih muda berperan penting dalam mendukung pencapaian partisipasi pemilih.
Pemilu serentak akan digelar pada tahun 2024 tepat pada 14 Februari 2024. Indonesia akan menggelar pesta demokrasi membuat antusiasme dikalangan para politisi berlomba-lomba dalam menggaet suara pemilih terutama pemilih muda. Sejumlah survey menunjukkan generasi muda menjadi kelompok pemilih dengan proporsi terbesar di pemilu 2024. Oleh sebab itu, dalam rangka meningkatkan lagi partisipasi pemilih dalam Pemilu tahun 2024, maka penyelenggaran Pemilihan Umum, KPU dan Bawaslu, telah melakukan berbagai upaya termasuk bekerja sama dengan perguruan tinggi seperti kuliah umum. Oleh sebab itu, penyelenggara Pemilu hendaknya harus aktif dalam mengajak kerja sama dalam meningkatkan partisipasi dalam Pemilu.
Menurut Dewi Iriani, M.H (2015) dalam Pemilu terdapat 3 cara membaca perilaku pemilih menurut usia yakni:
1. Pemilih muda (17-22 tahun) rata- rata terdiri dari 20-30 persen pemilih.
2. Pemilih dewasa (22-50 tahun) rata-rata terdiri dari 30-40 persen pemilih.
3. Pemilih orang tua (50 tahun keatas) rata-rata terdiri dari 10-20 persen pemilih.
Pemilih muda antara 17-22 tahun atau bisa juga pemilih milenial merupakan pemilih dengan rentang usianya antara 17-37 tahun. Pada pemilu serentak 2024 diprediksi jumlah pemilih muda akan mengalami peningkatan. Jika berkaca pada pemilu serentak 2019, data dari KPU jumlah pemilih muda sudah mencapai 70 juta-80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Itu artinya pemilih muda sudah mempunyai kekuatan dan memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu yang nantinya berpengaruh kepada kemajuan bangsa.
Dalam rangka mendapatkan perolehan suara yang banyak, diperlukan berbagai cara atau terobosan baru dalam peningkatan partisipasi pemilih. Masyarakat termasuk pemilih pemuda berhak berpartisipasi dalam Pemilu. Pemilih adalah warga negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.
Pemilih terdiri dari pemilih pemula, pemilih muda, pemilih perempuan, pemilih penyandang disabilitas, kelompok marjinal, komunitas, kelompok keagamaan, dan/atau warga internet (netizen).
Golput masih menjadi momok pada Pemilu 2024. Kampanye politik negatif di ranah digital rentan membuat Gen Z, yang merupakan bagian dari 60% pemilih tahun depan, enggan berpartisipasi dalam pemilihan umum.
Bagaimana tidak? Generasi Centennial menghabiskan lebih dari 8 jam sehari di dunia siber. Mereka bahkan memandang media sosial sebagai tempat rekreasi digital. Jika terus-terusan mengonsumsi konten problematik, mereka dapat mengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab. Namun, faktanya, kemajuan teknologi yang memfasilitasi praktik politik kotor bukan satu-satunya faktor pendorong golput di kalangan muda. Temuan riset UMN Consulting menunjukkan hal lain. Dengan sampel 802 responden berusia 15-24 tahun di area Jabodetabek, UMN Consulting menemukan 48,25% Gen Z menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2019, 4,86% memutuskan untuk golput, dan 46,88% belum memiliki hak pilih pada tahun tersebut.

Kabar baiknya, temuan kami mengonfirmasi hasil hitung cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) bahwa tingkat golput pada Pemilu 2019 adalah yang terendah sejak tahun 2004, yaitu 19,24%.
Melihat dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU), persentase golput adalah 23,30% pada 2004, 27,45% pada 2009, 30,42% pada 2014. Jika pemerintah berhasil memahami aspirasi dan kebutuhan generasi muda, ada kemungkinan persentase tersebut akan menurun lagi di tahun 2024. Terlebih lagi, tingginya tingkat akses dan penyebaran informasi melalui media sosial dapat mempermudah sosialisasi pentingnya turut berpartisipasi dalam pemilu.
Temuan menariknya, hasil survei partisipasi pemilu Gen Z di atas bertolak belakang dengan seruan #SayaPilihGolput di tahun 2019, imbas dari derasnya arus politik identitas di media sosial. Guna mengidentifikasi tendensi Gen Z lebih lanjut, UMN Consulting menggali alasan golput 4,86% responden pada Pemilu 2019. Hasilnya, golput teknis dan golput politis mendominasi.

Menurut Eep Saefulloh Fatah, seorang pakar politik Indonesia, golput teknis terjadi akibat suara Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak tersalurkan karena alasan-alasan teknis. Di sisi lain, golput politis terjadi akibat DPT merasa tidak cocok dengan pilihan yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan.
Dari temuan survei UMN Consulting, alasan teknis seperti berhalangan hadir karena alasan pribadi (35,9%), berada di luar wilayah DPT (23,08%), dan tidak/belum mendapatkan kartu pemilih (15,38%) berada di tiga urutan pertama. Lain daripada itu, alasan politis dengan alasan tidak percaya bahwa pemilu bisa membawa perubahan ada di posisi keempat (12,82%) dan visi-misi paslon tidak sesuai dengan ideologi diri di posisi kelima (10,26%).
Dominannya golput teknis seharusnya dapat dihindari. Salah satu caranya, pemerintah atau pembuat kebijakan dapat mengantisipasi pemilih Gen Z yang melanjutkan studi atau bekerja ke luar kota bahkan pulau.
Mengutip data BPS, persentase migran masuk risen Provinsi DI Yogyakarta, yang terkenal sebagai kota pelajar, merupakan yang tertinggi kedua di Indonesia pada tahun 2019. Tahun yang sama dengan berlangsungnya pemilu sebelumnya. Lebih lanjut, temuan LPEM FEB UI menunjukkan, faktor pendidikan adalah salah satu pendorong migrasi selain faktor ekonomi.
Maka dari itu, diperlukan sistem pemilu yang lebih fleksibel dan terintegrasi untuk menangani permasalahan golput teknis ini.
Keterkaitan antara pasal pasal yang mengatur tentang larangan golput atau tidak menggunakan hak suaranya dengan realita yang terjadi di lapangan.
Jika kita berbicara mengenai golput, maka hal ini akan berkaitan dengan hak politik (political rights), yaitu hak-hak yang diperoleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai seorang anggota organisasi politik, seperti hak memilih dan dipilih, mencalonkan diri dan memegang jabatan umum dalam negara. Hak politik juga dapat diartikan sebagai hak dimana individu dapat memberi andil, melalui hak tersebut dalam mengelola masalah negara atau pemerintahan.
Penyaluran hak politik tersebut diwujudkan melalui pemilu yang merupakan suatu sarana untuk menyalurkan hak politik warga negara, dipilih dan memilih, ikut dalam organisasi politik, maupun mengikuti langsung kegiatan kampanye pemilu.
Perlu kita ketahui pemilu di Indonesia diatur oleh UU Pemilu dan perubahannya. Namun, sebenarnya istilah golput tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Istilah yang dikenal adalah mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya. Perbuatan yang mempengaruhi atau mengajak orang lain supaya tidak memilih peserta pemilu ini diatur dalam Pasal 284 UU Pemilu yang berbunyi:
Dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:
- Tidak menggunakan hak pilihnya;
- Menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga Surat suaranya tidak sah;
- Memilih Pasangan Calon tertentu;
- Memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu; dan/atau
- Memilih calon anggota DPD tertentu,
dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Sebagai informasi, yang dimaksud dengan "menjanjikan atau memberikan" adalah inisiatifnya berasal dari pelaksana dan tim Kampanye Pemilu yang menjanjikan dan memberikan untuk mempengaruhi pemilih. Lalu, yang dimaksud dengan "materi lainnya" tidak termasuk meliputi pemberian barang-barang yang merupakan atribut Kampanye Pemilu, antara lain kaus, bendera, topi dan atribut lainnya serta biaya makan dan minum peserta kampanye, biaya transport peserta kampanye, biaya pengadaan bahan kampanye pada pertemuan terbatas dan/atau pertemuan tatap muka dan dialog, dan hadiah lainnya berdasarkan nilai kewajaran dan kemahalan suatu daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (“KPU”).
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka golput (tidak menggunakan hak pilihnya) yang dimaksud dalam Pasal 284 UU Pemilu adalah golput apabila dijanjikan akan diberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan karena tidak menggunakan hak pilihnya.
Pasal 28 UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan dalam undang-undang. Salah satu bentuk turunan dari hak tersebut antara lain adalah hak untuk menyatakan pilihan politiknya dalam pemilihan umum bagi warga negara yang ditetapkan sebagai kategori pemilih dalam pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) khususnya pada Pasal 198 ayat (1) menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.
Adapun Pasal 515 yang berbunyi:
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.” Adanya pasal ini menegaskan bahwa tindakan golput bisa disebut suatu tindakan pidana.
Atas dasar rumusan pasal ini, maka terdapat catatan penting yang harus diperhatikan :
Pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya. Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana.
Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya Golput tidak dapat dipidana. Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana. Bahwa seseorang mendeklarasikan dirinya golput adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang dan Konstitusi selama tidak menggerakkan orang lain menggunakan janji dan pemberian uang atau materi lainnya untuk golput.
Dengan demikian, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini. Apabila nantinya terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggaran serius bagi hak konstitusi warga negara.
Namun nyatanya di Indonesia masih banyak oknum oknum yang tidak menjalankan hak suaranya, fenomena ini dapat kita lihat dari persentase Golput yang ada di Indonesia.

Angka golput pada Pemilu 2019 termasuk yang terendah dibandingkan pemilu sebelumnya sejak 2004. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah masyarakat yang golput pada 2019 sebanyak 34,75 juta atau sekitar 18,02 persen dari total pemilih yang terdaftar. Sementara, pada 2014, jumlah golput sebanyak 58,61 juta orang atau 30,22 persen.
Pada Pemilu 2024, pemilih yang terdaftar didominasi oleh pemilih muda. Berdasarkan data KPU, terdapat 56,4 persen pemilih muda dapat pemilu 2024, yang artinya sudah melebihi setengah dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sayangnya, berdasarkan hasil survei Centre for Strategic and International (CSIS), sebanyak 11,8 persen responden memilih untuk golput.
Pro dan kontra mengenai golput
Dalam pemilihan umum, potensi warga negara yang tidak menggunakan hak pilih tetap ada. Bisa juga jumlahnya meningkat. Mereka, yang biasa disebut golongan putih (golput), selalu ada di setiap pemilihan umum di negara manapun.
Golput alias orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, telah menjadi pemenang sejak Pemilu 2009 lalu. Saat itu, golput meraih hampir 50 juta suara. Pada Pemilu 2014 ini, golput meraih suara sebanyak 46 juta Pro kontra. Keberadaan golput memang selalu menjadi perbincangan hangat setiap kali menjelang pemilihan umum karena pemilihan umum secara demokratis diwujudkan dengan adanya kesempatan bagi seluruh warga yang memenuhi syarat untuk memilih wakil-wakilnya di badan legislatif maupun memilih presiden dan wakil presiden hingga kepala daerah.
Sebagian masyarakat menyetujui keberadaan golput dengan berbagai alasan namun sebagian masyarakat menolak golput karena dianggap tidak berpartisipasi dalam pesta demokrasi. Sikap ekstrim terhadap penolakan golput ditandai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan golput haram. Situs MUI menerangkan bahwa fatwa dikeluarkan setelah melalui perbincangan hampir sehari penuh dalam rapat Komisi Masail Asasiyah Wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan).
Lalu dikerucutkan dalam Tim Perumus dan diajukan ke sidang pleno Ijtima Ulama. Hasilnya, MUI menyatakan memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram. Fatwa tersebut mendapatkan tantangan dari berbagai elemen masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan masyarakat bahwa tidak memilih adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang wajib dilindungi dan dihormati oleh siapapun, sehingga penolakan terhadap golput dipandang sebagai pelanggaran HAM (Ni Made Bakti, 2015:82).
Terlepas dari pro kontra masyarakat terhadap keberadaan golput tersebut, maka dalam hal ini perlu dikaji mengenai aspek hukum golput dalam pemilihan umum karena disamping pro kontra terkait persoalan HAM, dalam masyarakat terdapat pula wacana bahwa golput dapat dipidanakan.
Golongan putih atau golput merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang yang masuk dalam kategori pemilih dalam pemilu memutuskan untuk tidak menggunakan haknya untuk memilih salah satu calon dalam pemilu. Banyak orang kemudian beranggapan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, atau malah merupakan pelanggaran hukum. Padahal, menurut ICJR baik memilih ataupun tidak memilih, keduanya sama-sama merupakan bagian dari hak politik warga negara.
Mengenai hak memilih dalam pemilu tersebut, setidaknya terdapat dua pandangan yang dapat dikaitkan dengan sikap golput. Pertama, jika hak untuk memilih yang pada hakikatnya merupakan hak yang sifatnya boleh digunakan maupun tidak digunakan oleh pemiliknya, maka golput dapat diartikan sebagai pilihan seseorang yang tidak menggunakan haknya tersebut. Kedua, jika kembali merujuk pada ketentuan UUD 1945 maka pernyataan seseorang untuk menjadi golput juga dapat diartikan sebagai bagian dari hak warga negara untuk mengekspresikan pikirannya yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 di atas.
Di sisi lain, posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih juga sama sekali bukan merupakan pelanggaran hukum karena tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar. Ketentuan dalam UU Pemilu tidak melarang seseorang menjadi golput.
Cara meminimalisir terjadinya Golput pada Pemilu 2024.
Golput adalah masalah yang kompleks dan multidimensi. Oleh karena itu, solusi golput juga harus melibatkan berbagai pihak dan aspek. Berikut adalah beberapa solusi golput yang bisa dilakukan:
- Meningkatkan partisipasi politik rakyat.
Salah satu cara mengatasi golput adalah dengan meningkatkan partisipasi politik rakyat melalui berbagai cara, seperti sosialisasi, kampanye, diskusi, debat, survei, atau referendum. Partisipasi politik rakyat bisa meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab rakyat terhadap hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
- Meningkatkan edukasi politik rakyat.
Cara lain mengatasi golput adalah dengan meningkatkan edukasi politik rakyat melalui berbagai media, seperti buku, majalah, koran, radio, televisi, internet, atau media sosial. Edukasi politik rakyat bisa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan rakyat untuk memilih calon pemimpin yang sesuai dengan kriteria dan kepentingan mereka.
- Meningkatkan kontrol sosial rakyat terhadap proses dan hasil pemilu.
Cara selanjutnya mengatasi golput adalah dengan meningkatkan kontrol sosial rakyat terhadap proses dan hasil pemilu melalui berbagai mekanisme, seperti pengawasan, pengaduan, laporan, atau demonstrasi. Kontrol sosial rakyat bisa meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dan calon pemimpin terhadap rakyat.
- Meningkatkan pengetahuan mengenai situasi politik
Pemerintah perlu membekali Gen Z dengan pengetahuan mengenai situasi politik, sanksi yang berkaitan dengan golput, dan pemahaman yang kokoh tentang pentingnya bersikap partisipatif dalam Pemilu 2024.
- Mengembangkan sistem dan administrasi
Penyelenggara pemilu khususnya KPU perlu mengembangkan sistem dan administrasi yang sesuai dengan kebutuhan anak muda untuk meminimalisir golput teknis.
- Melakukan rapat koordinasi dengan aparatur Pemerintah Daerah
Masyarakat setempat dapat melakukan rapat koordinasi dengan aparatur Pemeintah Daerah mulai dari Kades, Camat, Kepala SKPD dan anggota Forkopimda.
- Melakukan pendidikan politik kepada masyarakat
Melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan harapan bisa berpolitik secara santun dan teratur dalam upaya menekan terjadinya konflik dari keberpihakan masing-masing pasangan calon.
- Memberikan sosialisasi kepada pemilih pemula.
Memberikan sosialisasi kepada pemilih pemula harus senantiasa dilakukan, agar pemilih pemula tidak salah dalam memilih pasangan calon. Baik secara pencoblosannya maupun sikap pemilih pemula terhadap pentingnya untuk menyalurkan hak suara mereka.
Golput merupakan tanggung jawab yang harus dipertimbangkan dengan matang. Golput bisa berdampak negatif bagi kualitas demokrasi, legitimasi hasil pemilu, dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, cara mengatasi golput perlu dilakukan dengan meningkatkan partisipasi, edukasi, dan kontrol sosial masyarakat terhadap proses dan hasil pemilu.
JANGAN GOLPUT, PILIH SESUAI KATA HATI, BEBAS MEMILIH, TANPA ADANYA INTIMIDASI.
Daftar Pustaka
Artikel
Aryo Putranto Saptohutomo (2022), Mengenal istilah Golput dalam Pemilu. Kompas.com
Devina Halim & Diamanty Meiliana (2019), Ini Tiga Jenis Golput menurut Pengamat, Ideologis hingga Apatis. Kompas.com
Rizka Noor Hashela, SH (2020), Menyikapi Integritas Penyalahgunaan Hak Pilih dalam Pemilu
Regio Alfala Rayandra S.H (2023), Bisakah Dipidana Jika Golput dalam Pemilu?
Ade. S (2023) Apa Sajakah Cara Mengatasi Golput dalam Pemilu 2024 Mendatang?
Risna Alfianingrum (2023), Gen Z dan Ancaman Golput di Pemilu 2024
Jurnal
Ni Putu Noni Suharyanto (2020), Jurnal Akses. Vol.12, No.2.
Priambudi Sulistiyanto (1994), Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, Yogyakarta: Lekhat, hal. Iv
Dalinama Telaumbanua, Mohamad Yunus Laia , Restu Damai Laia , Seni Hati Wau. (2022), PERAN PEMILIH MUDA DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA PENYELENGGARAAN PEMILU.
Maringan Panjaitan, Jonson Rajagukguk, Grace Y
Damanik, Elfrida Aruan, Rahmat Syukur Gulo. (2023), GOLPUT DAN PEMILU 2024