Kebebasan atau Kekuasaan: Hari Demokrasi Internasional sebagai Cermin Perjuangan Demokrasi

Penulis: Princess Nadhira Nabila (Administrasi Publik)


​Hari Demokrasi Internasional adalah peringatan global yang diadakan setiap tahun pada tanggal 15 September untuk merayakan nilai-nilai inti demokrasi, serta untuk mendorong kesadaran akan pentingnya pemerintahan yang adil, partisipatif, dan inklusif. Peringatan ini pertama kali dicanangkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007, dengan tujuan untuk mendukung penguatan institusi demokrasi di seluruh dunia. Demokrasi sendiri dipandang sebagai sistem yang memungkinkan partisipasi aktif warga negara dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang mereka pilih. Dalam konteks ini, Hari Demokrasi Internasional berperan sebagai momen penting untuk meninjau perkembangan demokrasi, mengidentifikasi tantangan yang dihadapinya, serta mempromosikan langkah-langkah yang dapat memastikan keberlanjutan demokrasi di berbagai negara.

​Setiap tahunnya, peringatan ini diiringi dengan tema yang berbeda, yang menyoroti isu-isu kunci dalam demokrasi kontemporer, seperti partisipasi pemilih, transparansi pemerintahan, peran media dalam pemilu, hingga perlindungan hak asasi manusia. Demokrasi tidak hanya tentang pemilu, tetapi juga mencakup aspek kebebasan berpendapat, kesetaraan di hadapan hukum, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar individu. Sayangnya, meskipun banyak negara mengklaim menganut sistem demokrasi, praktik demokrasi sering kali dihadapkan pada tantangan seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga penindasan politik.

 

A. Sejarah dan Makna Hari Demokrasi Internasional

​Peringatan ini digagas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007, tujuan dari peringatan Hari Demokrasi Internasional adalah untuk meninjau kembali keadaan demokrasi di seluruh dunia. Selain itu, untuk mempromosikan dan memperkuat nilai-nilai demokrasi. Sementara itu,  15 September dipilih sebagai tanggal peringatan Hari Demokrasi Internasional karena pada tanggal tersebut Persatuan Antar-Parlemen (IPU) mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Demokrasi.

​Deklarasi ini merupakan dokumen penting yang menetapkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti pemerintahan yang dipilih secara bebas, kebebasan berekspresi dan berserikat, serta perlindungan hak asasi manusia. Nilai-nilai kebebasan, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) , dan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang berkala dan jujur berdasarkan hak pilih universal, merupakan elemen penting dalam demokrasi. Demokrasi menyediakan lingkungan alami bagi perlindungan dan realisasi hak asasi manusia secara efektif. Situs resmi PBB juga menyebutkan kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang mendasar.  Hal ini tercantum dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.

​Hak ini mencakup kebebasan untuk mempunyai pendapat dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas-batas. Pada Hari Demokrasi Internasional, berbagai kegiatan dan acara diselenggarakan di seluruh dunia untuk mempromosikan demokrasi. Kegiatan-kegiatan ini dapat berupa seminar, diskusi, kampanye, hingga festival budaya. Makna Hari Demokrasi Internasional terletak pada perayaan dan penguatan prinsip-prinsip demokrasi di seluruh dunia. Hari ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya demokrasi sebagai dasar pemerintahan yang menghormati hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan partisipasi warga dalam pengambilan keputusan.

​Demokrasi tidak hanya tentang memilih pemimpin melalui pemilu, tetapi juga mencakup partisipasi aktif warga negara dalam berbagai aspek kehidupan publik, keadilan sosial, transparansi pemerintahan, serta akuntabilitas pemimpin. Dengan memperingati Hari Demokrasi Internasional, masyarakat dunia diingatkan bahwa demokrasi harus terus dipelihara dan ditingkatkan untuk menghadapi tantangan-tantangan seperti korupsi, diskriminasi, penindasan politik, dan pembatasan kebebasan. Pada dasarnya, Hari Demokrasi Internasional berfungsi sebagai panggilan untuk mempertahankan kebebasan dan keadilan, serta untuk mendorong dialog yang inklusif dan partisipatif di seluruh lapisan masyarakat.

B. Demokrasi antara Kebebasan atau Kekuasaan? Demokrasi vs Otoritanisme

​Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang dipilih. Prinsip utama demokrasi meliputi kebebasan berpendapat, hak untuk memilih dalam pemilu yang bebas dan adil, serta perlindungan hak asasi manusia. Dalam demokrasi, kekuasaan pemerintahan dibatasi oleh konstitusi dan hukum, serta pengawasan publik melalui institusi yang transparan. Demokrasi mendorong keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, menjaga pluralisme, dan menghormati perbedaan pendapat. Sedangkan, Otoritarianisme adalah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan terkonsentrasi di tangan satu individu atau sekelompok kecil elit, dan rakyat memiliki sedikit atau tidak ada partisipasi dalam pengambilan keputusan. Dalam pemerintahan otoriter, kontrol atas media, pembatasan kebebasan berpendapat, represi politik, dan kekerasan sering digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Hukum dan lembaga negara cenderung digunakan untuk melayani kepentingan penguasa daripada melindungi hak-hak warga negara.

​Perbedaan utama antara keduanya terletak pada tingkat partisipasi publik dan pengawasan kekuasaan. Demokrasi menjamin keterlibatan warga negara dalam politik, sementara otoritarianisme cenderung menekan partisipasi dan menutup ruang kebebasan. Demokratisasi menjadi fenomena penting dalam politik dunia sejak berakhirnya Perang Dingin. Pendapat yang berkembang mengatakan bahwa demokratisasi tidak hanya menjamin hak-hak sipil, tetapi juga menunjang keamanan dan perdamaian internasional. Masalahnya, banyak negara di dunia yang masih mengadopsi sistem otoritarianisme yang tidak menjamin hak-hak sipil meskipun politik di negara-negara tersebut relatif tidak ada gejolak. Walaupun demikian, sistem politik yang ideal adalah sistem politik yang stabil sekaligus terbuka.

​Artikel ini meyoroti teori ‘Kurva J’ yang menawarkan penjelasan tentang dinamika politik suatu negara dan menyediakan rekomendasi kebijakan kepada negara besar untuk mendorong demokratisasi di negara otoriter. Strategi mendorong perubahan politik menuju demokrasi adalah dengan memperkuat pelembagaan politik. Pelembagaan politik sangat penting agar terhindar dari jebakan ketidakstabilan selama menempuh proses demokratisasi. Artikel ini berpendapat bahwa teori ‘Kurva J’ sangat mendukung agenda politik luar negeri Amerika. Teori ‘Kurva J’ menyarankan supaya Amerika lebih mengedepankan cara-cara pelembagaan politik ketimbang intervensi militer dalam mengakhiri otoritarianisme. Keterlibatan Amerika dalam proses demokratisasi di Indonesia mencerminkan penerapan teori ‘Kurva J’. Demokrasi umumnya dianggap sebagai alat kebebasan, meskipun di beberapa konteks, ia juga dapat digunakan sebagai alat kontrol, tergantung pada bagaimana sistem tersebut dijalankan.

1. Alat Kebebasan: Demokrasi, dalam esensinya, bertujuan untuk menjamin kebebasan individu dan kelompok. Ini memungkinkan warga negara untuk:

- Memiliki kebebasan berpendapat, berserikat, dan beragama;

- Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui pemilu yang adil;

- Menikmati Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh konstitusi;

- Menjadi bagian dari proses pemerintahan melalui keterwakilan politik. Dengan demikian, demokrasi memberikan ruang bagi kebebasan politik dan sosial, di mana warga dapat mempengaruhi kebijakan dan mengkritik pemerintah tanpa rasa takut.

2. Alat Kontrol: Namun, dalam beberapa kasus, demokrasi bisa digunakan sebagai alat kontrol jika disalahgunakan. Seperti:

- Pemimpin yang terpilih secara demokratis bisa memanipulasi sistem untuk mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara yang tidak demokratis, seperti mengendalikan media, memanipulasi proses pemilu, atau merusak lembaga-lembaga independen;

- Penggunaan hukum atau kebijakan yang secara teknis legal tetapi sebenarnya membatasi kebebasan individu dan kelompok tertentu.

Oleh karena itu, meskipun idealnya demokrasi adalah alat untuk memperluas kebebasan, dalam praktiknya, dapat terjadi penyimpangan yang menjadikannya alat kontrol jika kekuasaan tidak diawasi atau sistemnya tidak transparan.

 

C. Populisme, Otoritanisme Modern dan Bagaimana Peran Teknologi dalam Memperkuat  atau Melemahkan Demokrasi

​Populisme adalah gerakan politik yang mengklaim mewakili "rakyat" dalam melawan "elit" yang dianggap korup atau tidak responsif. Pemimpin populis sering kali menggunakan retorika yang membelah masyarakat menjadi dua kelompok besar: rakyat versus elit. Dalam praktiknya, populisme sering kali menantang prinsip-prinsip demokrasi dengan mengabaikan norma-norma kelembagaan dan mendorong keputusan politik yang bersifat langsung dan emosional. Fleksibilitas populisme pada realitanya memang selalu berkelindan dengan ide dan praktik otoriter dan illiberal atau anti-demokrasi lain (Margiansyah 2019). Tendensi otoriter yang diselubungkan dalam narasinarasi populis yang mempolitisasi problem sosial-ekonomi dan sosialkultural sebagai ancaman eksistensial seperti ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, pengikisan nilai tradisional, dan identitas nasional yang melemah (Inglehart dan Norris 2016). Retorika berbasis ketakutan itu dimanfaatkan untuk memobilisasi dukungan massa terhadap diskursus atau kebijakan bersifat us-versus-them, proteksionis, dan konservatif terhadap urusan privat yang progresif. Manuver politik demikian pada akhirnya akan menghasilkan populisme yang teguh bersikap anti-kemapanan, anti-liberal, dan mengedeankan pemerintahan kuat dalam menjaga menjaga ketertiban (order) dan keamanan (security) negara, walaupun substansi demokrasi, supremasi hukum (rule of law), dan kebebasan sipil harus dikorbankan (Norris dan Inglehart 2019).

​Otoritarianisme modern adalah bentuk otoritarianisme yang berkembang dalam konteks globalisasi dan teknologi informasi. Pemimpin otoriter modern sering kali tetap mempertahankan ciri-ciri demokrasi formal, seperti pemilu, tetapi merusaknya dari dalam melalui:

- Kontrol media dan penyebaran informasi yang bias.

- Pengikisan institusi-institusi demokratis seperti lembaga peradilan yang independen.

- Pembatasan kebebasan sipil dengan dalih menjaga stabilitas atau keamanan nasional.

- Pemimpin otoriter modern sering memanfaatkan populisme untuk memperkuat kekuasaan mereka dengan mengklaim bahwa mereka mewakili "kehendak rakyat".

Tendensi populis dalam otoritarianisme semakin mempertegas hubungan antagonistik antara populisme dan demokrasi. Bagi beberapa sarjana, populisme memiliki peran meningkatkan kualitas demokrasi dan partisipasi politik dengan memberi kelompok sosial anti-mainstream kemampuan untuk mengoreksi inklusivitas politik melalui checkand-balance dan legitimasi populer. Beberapa analis lain melihat kecenderungan kuat kelompok populis untuk mempraktikkan politik antidemokratis kendati menekankan kedaulatan rakyat, prinsip demokrasi (Gidron dan Bonikowski 2013).

Ahli-ahli lainnya justru melihat populisme bertentangan dengan demokrasi karena sifat anti-pluralismenya yang mengklaim diri sebagai satu-satunya perwakilan rakyat yang sah, dan rival politik dianggap sebagai musuh rakyat, korup, dan imoral (Abts dan Rummens 2007; Müller 2016). Relasi populisme-demokrasi yang antagonistik menjadi titik tolak untuk mengelaborasi intensifikasi otokratisasi di negara-negara demokrasi. Otokratisasi yang didefinisikan sebagai proses perubahan substasial dari rezim demokrasi menuju otokrasi, terutama hilangnya kriteria dasar institusi elektoral dan demokrasi (Cassani dan Tomini 2019; Lührmann dan Lindberg 2019). Proses ini tercipta dari transformasi institusi-institusi yang mengelola kontentasi, partisipasi politik, dan batas-batas wewenang pemerintahan eksekutif baik secara formal maupun informal.

Teknologi, terutama media sosial dan platform digital, memiliki peran yang ambigu dalam konteks demokrasi modern. Di satu sisi, teknologi dapat memperkuat demokrasi, namun di sisi lain, ia juga dapat melemahkannya.

1. Memperkuat Demokrasi

-  Akses Informasi: Teknologi mempermudah akses ke informasi, memperluas ruang bagi warga untuk mendapatkan pengetahuan politik dan kebijakan publik.

-  Partisipasi Politik: Media sosial dan platform digital memungkinkan masyarakat terlibat lebih aktif dalam politik, mulai dari mengorganisir gerakan sosial hingga memobilisasi massa dalam protes.

-  Keterbukaan Pemerintahan: Teknologi memungkinkan transparansi yang lebih baik melalui e-governance dan keterlibatan publik dalam proses pengambilan keputusan.

2. Melemahkan Demokrasi

-  Disinformasi dan Hoaks: Teknologi memfasilitasi penyebaran cepat informasi yang salah (disinformasi), hoaks, dan propaganda, yang bisa membingungkan publik dan merusak proses demokratis.

-  Pengawasan Massa: Rezim otoriter dapat menggunakan teknologi untuk memata-matai warganya, mengawasi oposisi politik, atau membatasi kebebasan berekspresi.

-  Manipulasi Pemilu: Algoritma media sosial dapat digunakan untuk memanipulasi preferensi pemilih atau mempolarisasi masyarakat melalui konten yang bersifat provokatif dan ekstrem.

-  Polarisasi Sosial: Teknologi sering kali memperkuat bias dan mendorong polarisasi dengan membentuk "ruang gema" (echo chambers) di mana orang hanya mendengar pandangan yang sam a dan menolak dialog.

D. Refleksi Demokrasi di Dunia dan Indonesia

​Di sejumlah negara, demokrasi terus berkembang sebagai sistem yang kuat dan stabil. Institusi demokratis seperti pemilu yang bebas dan adil, lembaga hukum yang independen, serta kebebasan sipil dan politik tetap menjadi pilar utama dalam kehidupan masyarakat. Contoh negara-negara seperti:

Skandinavia: Negara-negara seperti Norwegia, Swedia, dan Denmark dikenal karena tata kelola yang baik, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan demokrasi yang inklusif.

Kanada dan Selandia Baru: Kedua negara ini menunjukkan bagaimana demokrasi bisa tumbuh seiring dengan keterbukaan terhadap hak-hak individu, kebebasan pers, serta pemerintahan yang transparan.

Contoh nyata demokrasi di Indonesia baru di wujudkan setelah runtuhnya rezim otoriter Orde Baru, Indonesia berhasil membangun sistem demokrasi yang lebih terbuka, termasuk:

Pemilu Langsung: Pemilihan presiden, gubernur, wali kota, dan bupati dilakukan secara langsung, memberi masyarakat lebih banyak kontrol terhadap siapa yang memimpin.

Kebebasan Pers: Setelah reformasi, kebebasan media meningkat pesat. Pers menjadi lebih kritis terhadap pemerintah dan lembaga negara, meski tantangan seperti intimidasi terhadap jurnalis masih ada.

Partisipasi Politik: Indonesia memiliki partisipasi politik yang relatif kuat, dengan pemilu yang umumnya berjalan dengan baik dan melibatkan banyak partai politik. Demokrasi elektoral menjadi aspek kunci dalam kehidupan politik.

 

E. Hari Demokrasi Sebagai Momentum Perjuangan Demokrasi

​Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. Namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila.

​Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik berbasis perbedaan agama dan budaya terjadi di masyarakat, maraknya ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran dan kejahatan terorisme. Di level pemerintahan dan politik, kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya dari aspek supremasi hukum, juga cukup mengkhawatirkan. Salah satunya bisa kita soroti dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya pelibatan aspirasi publik terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM, beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan masih banyak lagi. Hal tersebut sangat ironis karena kedaulatan ada di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal yang mutlak sekaligus kunci dari demokrasi itu sendiri.

​Selain itu, jika kita melihat situasi politik belakangan ini, banyak politikus yang memanfaatkan isu-isu SARA untuk saling menyerang lawan politik mereka demi mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Oleh karena itu, beberapa contoh di atas berpotensi mencederai Demokrasi Pancasila dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita seakan lupa bahwa negeri ini menjadi kuat karena dibangun dari perbedaan. Upaya upaya yang dapat kita lakukan untuk tetap menjaga bahkan melestarikan demokrasi yang ada di Indonesia antara lain dengan:

-  Memperkuat Institusi Demokrasi: Independensi Lembaga Hukum: Demokrasi membutuhkan sistem hukum yang independen, bebas dari intervensi politik, dan mampu menegakkan hukum secara adil. Lembaga peradilan harus dijaga agar tetap netral dan tidak tunduk pada tekanan politik.

-  Pemilu yang Adil dan Transparan: Pemilu yang bebas, jujur, dan adil adalah pilar demokrasi. Reformasi pemilu dan peningkatan transparansi proses pemilihan sangat penting untuk menjaga integritas demokrasi.

-  Parlemen yang Kuat dan Akuntabel: Parlemen harus berfungsi sebagai pengawas eksekutif yang efektif, dengan keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan dan anggaran.

-  Pemberdayaan Lembaga Antikorupsi: Lembaga seperti KPK di Indonesia atau badan antikorupsi lainnya harus memiliki dukungan politik dan sumber daya yang cukup untuk melakukan investigasi tanpa campur tangan politik.

-  Meningkatkan Transparansi Pemerintahan: Penggunaan teknologi untuk mendorong keterbukaan dan transparansi dalam pengelolaan anggaran, perizinan, dan kebijakan publik dapat mengurangi peluang korupsi.

-  Pendidikan Politik: Pendidikan politik yang baik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak demokratis dan pentingnya partisipasi aktif dalam proses politik. Masyarakat yang terdidik secara politik lebih mampu memilih secara rasional dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.

-  Mendukung Partisipasi Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat sipil memainkan peran penting dalam mengawasi pemerintah, mendukung transparansi, dan memperjuangkan hak-hak warga. Pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung kebebasan berserikat dan berekspresi.

-  Menjaga Kebebasan Pers: Pers yang bebas dan independen adalah pengawas penting dalam demokrasi. Pers harus dilindungi dari tekanan atau kontrol oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkuasa.

-  Menghapus Pembatasan Kebebasan Berpendapat: Hukum dan kebijakan yang membatasi kebebasan berpendapat, termasuk undang-undang yang bisa disalahgunakan untuk membungkam kritik, harus direformasi untuk memastikan hak-hak sipil tetap terjaga.

-  Mendorong Dialog Antar Kelompok: Polarisasi politik dan sosial adalah ancaman bagi stabilitas demokrasi. Upaya untuk membangun dialog antar kelompok politik, agama, dan etnis sangat penting untuk mencegah konflik.

-  Mengatasi Disinformasi dan Hoaks: Penyebaran disinformasi melalui media sosial dapat merusak demokrasi dengan memanipulasi opini publik. Kampanye literasi digital dan langkah-langkah untuk memerangi hoaks harus ditingkatkan.

-  Peningkatan Transparansi dalam Partai Politik: Partai politik harus menjadi lebih transparan dalam hal pendanaan dan proses internalnya, sehingga menjadi lebih akuntabel kepada publik.

-  Mendorong Regenerasi Pemimpin: Partai politik harus mendorong munculnya pemimpin muda yang kompeten dan memiliki integritas untuk menggantikan elit lama, sehingga partai tetap relevan dan representatif.

-  E-Government dan Keterbukaan Informasi: Teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan keterbukaan pemerintahan, memungkinkan warga mengakses informasi publik, dan memperkuat partisipasi dalam pengambilan keputusan.

-  Melindungi Privasi dan Hak Digital: Sementara teknologi bisa memperkuat demokrasi, ia juga bisa digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan warga. Perlindungan privasi dan hak digital harus menjadi prioritas.

​Hari Demokrasi Internasional adalah untuk meninjau kembali keadaan demokrasi di seluruh dunia. Selain itu, untuk mempromosikan dan memperkuat nilai-nilai demokrasi. Sementara itu,  15 September dipilih sebagai tanggal peringatan Hari Demokrasi Internasional karena pada tanggal tersebut Persatuan Antar-Parlemen (IPU) mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Demokrasi. Deklarasi ini merupakan dokumen penting yang menetapkan prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti pemerintahan yang dipilih secara bebas, kebebasan berekspresi dan berserikat, serta perlindungan hak asasi manusia. Nilai-nilai kebebasan, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) , dan prinsip penyelenggaraan Pemilu yang berkala dan jujur berdasarkan hak pilih universal, merupakan elemen penting dalam demokrasi.

​Perbedaan utama antara Demokrasi dan otoritanisme terletak pada tingkat partisipasi publik dan pengawasan kekuasaan. Demokrasi menjamin keterlibatan warga negara dalam politik, sementara otoritarianisme cenderung menekan partisipasi dan menutup ruang kebebasan. Tendensi populis dalam otoritarianisme semakin mempertegas hubungan antagonistik antara populisme dan demokrasi. Bagi beberapa sarjana, populisme memiliki peran meningkatkan kualitas demokrasi dan partisipasi politik dengan memberi kelompok sosial anti-mainstream kemampuan untuk mengoreksi inklusivitas politik melalui checkand-balance dan legitimasi populer. Beberapa analis lain melihat kecenderungan kuat kelompok populis untuk mempraktikkan politik antidemokratis kendati menekankan kedaulatan rakyat, prinsip demokrasi (Gidron dan Bonikowski 2013).

​Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. Namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila.


In a democracy, the power lies with the people.

It is the duty of every citizen to exercise that power responsibly.

REFERENSI

Switzy Sabandar (2023), 15 September Hari Demokrasi Internasional, Ini Tema dan Sejarahnya. URL: https://www.kompas.tv/nasional/443361/15-september-hari-demokrasi-internasional-ini-tema-dan-sejarahnya#google_vignette

Kanya Anindita Mutiarasari (2022), Hari Demokrasi Internasional 15 September, Ini Sejarah Peringatannya. URL: https://news.detik.com/berita/d-6289763/hari-demokrasi-internasional-15-september-ini-sejarah-peringatannya

Defbry Margiansyah (2021), Otokratisasi dan Populisme Otoriter dalam Rezim Demokrasi: Perbandingan antara India, Hongaria,dan Turki.

Heru Margianto (2020), Tantangan Demokrasi di Indonesia.

Cora Elly Noviati (2013), Demokrasi dan Sistem Pemerintahan.

Mohammad Rosyidiin (2013), Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi: Bagaimana Mendorong Negara Menuju Kestabilan Dan Keterbukaan?

Sign in to leave a comment
Penguasa Politik Senantiasa Menggelitik