Intervensi Kesehatan Mental dalam menghadapi fenomena Self Harm sebagai Expression of Mental Crisis di kalangan Generasi Muda

Penulis:  Princess Nadhira Nabila (Administrasi Publik’23

​Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar. Kesehatan mental berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, merasakan, bertindak, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. Orang dengan kesehatan mental yang prima dapat beraktivitas secara produktif dan menggunakan potensi yang dimilikinya dengan maksimal. Ia juga mampu berpikir positif dan jernih ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan. Hal ini akan menuntun dirinya menjadi pribadi yang lebih baik dalam menyikapi masalah.

​Mengingat pentingnya Kesehatan mental maka terbentuklah Hari Kesehatan Mental Sedunia atau Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang jatuh setiap 10 Oktober. Peringatan ini diciptakan dan diasosiasikan langsung oleh lembaga kesehatan dunia bernama World Federation of Mental Health (WFMH). Hal ini terbentuk karena banyaknya kematian diakibatkan terganggunya kesehatan mental.              

 

A. Terbentuknya Hari Kesehatan Mental Sedunia.

​Awalnya, Hari Kesehatan Mental Sedunia tidak memiliki tema khusus, tetapi fokusnya adalah untuk mempromosikan kesehatan mental secara umum. Sejak tahun 1994, WFMH mulai menetapkan tema-tema khusus setiap tahunnya, seperti kesehatan mental di tempat kerja, kesehatan mental remaja, dan upaya pencegahan bunuh diri.

​Ketika masalah kesehatan mental muncul di berbagai negara, WFMH menyadari bahwa mereka harus bekerja dalam skala global untuk mengatasi masalah tersebut, menurut National Today. Oleh karena itu, Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ditetapkan pada tahun 1992 oleh WFMH yang dipimpin oleh Wakil Sekretaris Jenderal Richard Hunter. Tujuan utama mereka adalah untuk mendukung dan menyebarkan kesadaran tentang kesehatan mental secara umum. Program ini dimulai dengan siaran televisi dua jam di seluruh dunia selama tiga tahun pertama setelah pelantikannya. Program ini berisi pesan video tentang kepedulian terhadap manusia untuk menjelaskan pentingnya menjaga kesehatan mental seseorang.

​Hasil yang mereka harapkan telah terjadi. 27 negara mengeluarkan laporan tanggapan setelah pengumuman tersebut, dibantu oleh kampanye nasional di Australia dan Inggris. Untuk melanjutkan upaya ini, anggota dewan WFMH di seluruh dunia menyelenggarakan acara tambahan seiring dengan semakin populernya program ini di kalangan lembaga pemerintah, organisasi, dan masyarakat.

B. Pentingnya menjaga Kesehatan Mental.

​Menjaga kesehatan mental sangat penting, terutama di kalangan generasi muda, karena mereka berada pada tahap kehidupan yang rentan terhadap berbagai tekanan sosial, akademis, dan emosional. Kesehatan mental yang baik memungkinkan seseorang untuk mengelola stres dengan lebih efektif, membuat keputusan yang bijak, dan membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Di sisi lain, gangguan kesehatan mental yang tidak ditangani dapat memicu perilaku yang merusak diri sendiri, seperti self-harm, yang merupakan salah satu manifestasi dari masalah emosional yang mendalam.

​Sebenarnya,  bukan  hanya  diri  sendiri  yang  harus  menyadari  kesehatan  mental  masing-masing,  tetapi orang-orang  di  sekitar  juga  tak  kalah  penting  dalam  mengetahui  hal  ini.  Pada  saat  ini,  gangguan  kesehatan mental  masih  dianggap  tabu  oleh  masyarakat.  Seseorang  yang  mengalami  gangguan  kesehatan  mental  akan dianggap  sebagai  orang  yang  kurang  dalam  beribadah  dan  tidak  mengingat  Tuhannya.  Karena  hal  itu,  mereka enggan menceritakan masalahnya kepada orang lain karena merasa takut dan malu. Selain itu, biaya ke psikolog juga cukup mahal dan membuat mereka semakin menutup masalahnya seorang diri. Untuk menangani masalah kesehatan mental ini memerlukan partisipasi semua pihak yaitu negara, masyarakat, dan penderita itu sendiri. Apabila ketiganya bersatu dan memiliki kesadaran penuh mengenai kesehatan mental, bisa  dipastikan  angka  kematian  karena  bunuh  diri  yang  disebabkan  gangguan  kesehatan  mental  semakin berkurang. Pemerintah sebagai penyedia fasilitas, masyarakat sebagai pendukung pentingnya kesehatan mental sehingga  tidak  ada  lagi  penilaian  yang  meresahkan,  dan  penderita  itu  sendiri  yang  memiliki  kesadaran  tinggi untuk menjaga kesehatan mentalnya.

​Self Harm adalah sebuah tindakan gangguan perilaku menyakiti diri sendiri untuk menghilangkan rasa frustasi, stres, dan berbagai macam emosi. Setiap orang memiliki cara self harm yang berbeda-beda, seperti menarik rambut, mencubit, menggigit, menggaruk, memukul, menelan zat berbahaya, dan menyayat anggota tubuh (cutting). Tujuan awalnya bukan untuk bunuh diri, akan tetapi akan menimbulkan luka yang parah jika diteruskan. Dan prevalensinya berbeda di setiap negara. Berikut beberapa data yang relevan terkait self-harm di beberapa negara, termasuk Indonesia:

·         Indonesia: Data mengenai prevalensi self-harm di Indonesia masih terbatas. Namun, sebuah studi pada tahun 2021 yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa sekitar 15-20% remaja Indonesia pernah melakukan tindakan self-harm. Faktor-faktor yang berkontribusi termasuk tekanan akademis, bullying, serta masalah keluarga dan emosional.

·         Amerika Serikat: Di AS, self-harm terutama terjadi pada remaja dan dewasa muda. Menurut National Institutes of Health, sekitar 17.2% remaja di Amerika Serikat pernah melakukan self-harm. Prevalensi lebih tinggi di antara perempuan dibandingkan laki-laki.

·         Inggris: Data dari National Health Service (NHS) Inggris menunjukkan peningkatan dalam kasus self-harm. Pada tahun 2022, sekitar 13-20% remaja di Inggris pernah melukai diri sendiri. NHS juga melaporkan peningkatan jumlah remaja yang dirawat di rumah sakit karena self-harm dalam dekade terakhir.

·         Australia: Di Australia, sebuah survei yang dilakukan oleh Australian Institute of Health and Welfare pada 2020 menemukan bahwa sekitar 18.2% orang berusia 15-19 tahun pernah melakukan self-harm. Faktor-faktor pemicu termasuk masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

C. Faktor utama yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan perilaku Self Harm.

·         Trauma masa lalu: Seseorang yang pernah mengalami peristiwa traumatis di masa lalu mungkin akan kesulitan menghadapi kenangan dan dampak emosional dari peristiwa tersebut. Dalam situasi seperti ini, menyakiti diri sendiri dapat dilihat sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit emosional yang mendalam atau untuk melupakan peristiwa yang menyakitkan, meskipun hanya sementara.

·         Gangguan Perilaku: Gangguan Perilaku atau bahkan mental tertentu seperti depresi, skizofrenia, dan autisme meningkatkan risiko perilaku kekerasan. Misalnya, pada orang yang mengalami depresi, perasaan putus asa dan tidak berharga sering kali berdampak buruk pada dirinya sendiri. Dalam situasi lain, seperti psikosis, perilaku ini mungkin disebabkan oleh delusi atau halusinasi.

·         Tekanan emosional yang terpendam: Seseorang yang merasa tertekan dalam waktu yang lama, terutama akibat masalah pribadi seperti konflik keluarga, bisa merasakan perasaan negatif yang terus bertambah. Ketika emosi tersebut tidak bisa dikeluarkan dengan cara yang sehat, perilaku self-harm bisa muncul sebagai cara untuk meluapkan perasaan negatif dan mendapatkan pelepasan emosional, meski akhirnya justru semakin memperparah kondisi psikologisnya.

·         Ketidakmampuan mengekspresikan diri: Ketika seseorang merasa tidak mampu mengekspresikan emosi, perasaan, atau kebutuhan mereka, hal ini bisa menimbulkan stres berat dan berujung pada depresi. Kegagalan dalam komunikasi emosional ini membuat individu merasa terkunci dalam perasaan mereka sendiri, sehingga mereka mungkin melihat self-harm sebagai satu-satunya cara untuk merespons atau mengatasi tekanan tersebut.

​Setelah melakukan tindakan tersebut, mereka biasanya mengalami rasa bersalah atau penyesalan. Selain itu, mereka mungkin merasa kesulitan mengekspresikan emosi, merasa terasing atau tidak dipahami, serta memiliki kebutuhan untuk mengendalikan rasa sakit atau mengalihkan perhatian dari masalah lain yang mereka hadapi, meski sebenarnya itu bukan solusi yang sehat. Terapi dan dukungan psikologis sangat diperlukan untuk membantu individu keluar dari siklus ini.

D. Dampak Negatif Gangguan Perilaku Self Harm.

Berikut merupakan dampak negatif yang didapat ketika seseorang melakukan perilaku self harm.

  • Luka fisik: Self harm sering kali melibatkan pemotongan, pembakaran, dan pemukulan, yang dapat menimbulkan konsekuensi fisik yang serius. self harm yang dilakukan berulang kali dapat menyebabkan kerusakan jaringan, jaringan parut, infeksi, dan komplikasi medis lainnya Dr Jessica Rosen, seorang psikiater yang berspesialisasi dalam menyakiti diri sendiri menjelaskan. Kerusakan fisik ini dapat memiliki efek jangka panjang pada tubuh, yang menyebabkan rasa sakit kronis, penurunan fungsi, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi.
  • Tekanan emosional: Self harm dapat meredakan tekanan emosional untuk sementara waktu, tetapi pada akhirnya dapat melanggengkan siklus rasa sakit. menurut psikolog klinis Dr Karen Lewis.Perilaku melukai diri sendiri dapat memperburuk perasaan bersalah, malu, dan membenci diri sendiri, serta memperparah perubahan suasana hati yang mendorong perilaku tersebut. Rasa bersalah dan malu yang terkait dengan perilaku melukai diri sendiri dapat semakin mengisolasi individu, yang menyebabkan penurunan kesehatan mental dan harga diri.
  • Kesehatan mental: Tindakan ini sering dikaitkan dengan kondisi kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan terkait trauma. Psikolog Dr Michael Thompson menjelaskan self harm bisa jadi merupakan ekspresi dari tekanan emosional yang mendasari atau cara untuk mengatasi perasaan yang luar biasa. Namun, penting untuk diketahui bahwa menyakiti diri sendiri tidak mengatasi penyebab yang mendasari kondisi kesehatan mental tersebut dan justru dapat melanggengkan siklus tekanan emosional dan memperburuk kondisi kesehatan mental.
  • Konflik dengan orang terdekat: Menyakiti diri sendiri dapat berdampak buruk pada hubungan. Teman, keluarga, dan kekasih dapat merasa tidak berdaya, bingung, dan marah ketika mereka menyaksikan orang yang mereka cintai self harm. menurut terapis keluarga Dr Sarah Patel Hubungan dapat menjadi tegang karena orang yang dicintai berjuang untuk memahami dan merespons dengan tepat terhadap tindakan mencelakai diri sendiri, Ketegangan ini dapat menyebabkan rasa bersalah, kemarahan, dan gangguan komunikasi, yang selanjutnya dapat mengisolasi individu dan menghalangi kemampuan mereka untuk mencari dukungan.
  • Meningkatnya intensitas self harm: Menyakiti diri sendiri menciptakan siklus berbahaya yang meningkat dari waktu ke waktu. Seperti yang dijelaskan oleh psikiater Dr John Harper, apa yang mungkin dimulai sebagai tindakan mencelakai diri sendiri yang relatif ringan dapat mengarah pada penggunaan metode yang lebih parah seiring berkembangnya toleransi atau kebutuhan untuk pelepasan emosi yang meningkat. Ketika menyakiti diri sendiri menjadi lebih parah, hal ini bahkan dapat meningkatkan risiko cedera serius atau kematian yang tidak disengaja. Intervensi dan dukungan dini sangat penting untuk mencegah lingkaran setan ini menjadi lebih buruk. Penting untuk diingat bahwa menyakiti diri sendiri bukanlah solusi untuk tekanan mental, dan siapa pun yang menderita perilaku ini harus mencari bantuan profesional. Terapi, pengobatan, dan dukungan dari ahli kesehatan mental dapat mengatasi masalah yang mendasarinya dan memberikan strategi penanganan yang lebih sehat.

​Self Harm dapat memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan fisik, emosional, dan relasional seseorang. Kesadaran akan konsekuensi dari menyakiti diri sendiri dapat meningkatkan kesadaran, mempromosikan pencegahan, dan mendorong orang untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan. Ingatlah bahwa mencintai diri sendiri adalah langkah berani menuju penyembuhan dan masa depan yang lebih baik.

E. Peran keluarga dan teman terdekat mendukung proses pemulihan penderita Self Harm.

​Berikan dirinya ruang untuk menceritakan masalah atau perasaan yang mereka hadapi. Pelajari teknik untuk menjadi pendengar yang aktif. Pahami apa yang menjadi masalah dalam dirinya, dan tempatkan posisimu seolah-olah berada dalam situasi yang sama. Katakan dengan nada yang ramah dan penuh empati seperti:

Saya melihat ada [luka/memar] di tubuh kamu, dan aku ingin memahami apa yang kamu alami“.

Hindari komentar yang menghakimi atau menyinggung perasaan orang lain – hal ini hanya akan memperburuk situasi. Ingat, ia melukai diri sendiri karena mereka mengalami tekanan, malu, dan sendirian. Kemudian tunjukkan bahwa kamu peduli dan khawatir dengan kondisinya, dan beritahukan bahwa kamu bersedia untuk membantu saat mereka membutuhkan bantuan atau orang untuk didengarkan. Hindari mengancam, menghukum, atau memberikan ultimatum yang tidak bermanfaat.


You’re beautiful, and you’re worth more than harming yourself. - Demi Lovato -

 


REFERENSI:

Ricky Sidharta dan Tiffany Chandra (2019), Memahami dan Menolong Orang yang Melukai Diri Sendiri: ​Panduan untuk Teman, Orang Tua, dan Guru. URL:

dr. Airindya Bella (2022), Self-Injury, Gangguan Psikologis Menyakiti Diri Sendiri.

Faqih Purnomosidi, Sri Ernawati, Dhian Riskiana, Anisa Indriyani (2023), Jurnal Pengabdian Kepada ​Masyarakat, Kesehatan Mental pada Remaja.

Mitra Keluarga (2024), Self Harm: Penyebab Menyakiti Diri dan Cara Mengobatinya. 

Tim Medis Siloam Hospitals (2024), Memahami Self Harm, Penyebab, Jenis, dan Cara Mengatasinya. 


Sign in to leave a comment
Refleksi Hari Sungai: Menjaga Aliran Kehidupan, Melestarikan Bumi