Penulis: Princess Nadhira Nabila (Administrasi Publik ’23)
Hari Pemasyarakatan Indonesia atau Hari Bhakti Pemasyarakatan (HBP) jatuh pada tanggal 27 April. Hari Pemasyarakatan Indonesia diperingati sejak tahun 1964. Dilatar belakangi Peringatan sebagai suatu momentum untuk meningkatkan semangat pemasyarakatan dalam membuat para narapidana menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara melakukan pembinaan berkesinambungan, terarah dan tanpa menghilangkan Hak Asasi Manusia. Peringatannya bermula dari buah pikir Menteri Kehakiman RI Sahardjo tentang mengenai pembinaan narapidana berdasar sistem pemasyarakatan pada tahun 5 Juli 1963 silam.
Pada Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 27 April - 7 Mei 1964. Melalui konferensi tersebut, buah pikiran Menteri Kehakiman RI Sahardjo tentang konsep pemasyarakatan dijadikan prinsip pokok dari konsep pemasyarakatan. Dari konferensi itu dihasilkan keputusan bahwa pemasyarakatan tidak hanya semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara. Pemasyarakatan juga merupakan sistem pembinaan narapidana. Mengutip dari situs Balai Pemasyarakatan Jakarta Selatan, Hari Permasyarakatan Indonesia telah diperingati sejak tahun 1964. Prof. Sahardjo, S.H selaku Menteri Kehakiman saat itu mencetuskan gagasan mengenai pembinaan narapidana berdasar sistem pemasyarakatan pada 5 Juli 1963 silam. Dalam prosesnya, terjadi perubahan istilah Kepenjaraan menjadi Permasyarakatan yang bertujuan sebagai suatu pengejawantahan keadilan untuk mencapai reintegrasi sosial dalam pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. Perkara ini kemudian dikukuhkan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Selain itu, lembaga pemasyarakatan berfungsi untuk memanusiakan para warga binaan sebagai manusia seutuhnya. Lembaga pemasyarakatan juga memberikan pembinaan khusus seperti keterampilan, pembentukan akhlak, penguatan mental dan kegiatan lainnya. Sistem pemasyarakatan di Indonesia terbagi ke dalam 3 periode, yaitu, Periode permasyarakatan I tahun 1963 sampai 1966, periode ini ditandai dengan konsep pemasyarakatan baru yang diajukan oleh Saharjo, yakni berupa konsep hukum nasional yang digambarkan dengan sebuah pohon beringin. Pohon beringin menjadi lambang pengayoman dan pemikiran baru tentang tujuan pidana penjara adalah untuk pemasyarakatan. Pada tahun 1964 Konferensi Dinas Derektoral Pemasyarakatan di Lembang Bandung terjadi. Dari situ ada perubahan istilah pemasyarakatan di mana jika sebelumnya artinya adalah sebagai anggota masyarakat yang berguna, berganti menjadi pengembalian integritas hidup-penghidupan-kehidupan. Periode permasyarakatan II tahun 1966 sampai 1975, eriode ini ditandai mulai adanya pendirian kantor-kantor Bimbingan Pemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA), di mana ditargetkan pada tahun 1969 akan ada 20 kantor yang berdiri di Indonesia. Dalam masa ini, terjadi beberapa adanya trial dan error di bidang pemasyarakatan karena menjadi permulaan beralihnya situasi lama ke baru sepertinya adanya perubahan kata “Permasyarakatan” menjadi “Bina Tuna Warga”. Periode permasyarakatan III tahun 1975 sampai sekarang, Periode ini dimulai dengan adanya Lokakarya Evaluasi Sistem Pemasyarakatan tahun 1975 yang membahas tentang sarana peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan sebagai landasan struktural untuk dasar operasional pemasyarakatan, sarana personalia, sarana keuangan, dan sarana fisik
A. Penerapan Hak Asasi Manusia Pada Narapidana
Setiap narapidana mempunyai hak dan setiap narapidana wajib diperlaukan dengan baik dan tidak boleh saling menyakiti dan setiap narapidana juga berhak mendapatkan hak haknya seperti pendidkan, kesehatan. Terkait dengan pemenuhan (HAM) orang-orang yg dirampas kemerdekaannya, Indonesia pun telah meratifikasi Standart Minimum Rules (SMR) yang di dalamnya merancang tentang hak narapidana yang tetap harus dipenuhi1. Tidak ada hal lain bagi narapidana yang terbatasi selain hak untuk merasakan kebebasan. Tentunya hak yang dibicarakan disini tidak berarti membenarkan adanya hak “istimewa” bagi narapidana untuk memperoleh fasilitasfasilitas eksklusif di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Kenyataannya, dewan pemsyarakatan berpotensi untuk mendorong kejadian pelangggran HAM. Ini terjadi karena kewenangan pemsyarakatam untuk melakukan “upaya wajib” dalam menegakan hukum, untuk melindungi ham, khusunya hak-hak narapidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 12-14 UU Pemasyarakatan 1995. Misalnya, hak atas perawatan mental dan fisik, hak atas perawatan kesehatan dan hak atas pendidikan dan bimbingan yang tidak diatur oleh aturan standar minimum. Memang ini yang banyak dilakukan narapidana di lembaga pemasyarakatan, baik kompensasi, perbaikan, hak-hak apa saja yang mereka dapatkan selama menjalani hukuman, dan langkah-langkah untuk mematuhinya, hal itu terjadi karena tidak mengetahui atau memahami syarat-syaratnya. Hak yang diminta terasa rumit.
Di kenyataannya, terkadang karena pendapat efektif serta jeda, banyak narapidana yang tidak berada dalam LAPAS namun dititipkan ditempat tinggal Rumah Tahanan (RUTAN), yang harusnya adalah daerah tahanan sementara buat mereka yang sedang pada proses aturan atau buat narapidana yang menjalani masa pidana kurang dari 1 tahun. RUTAN maupun LAPAS melaksanakan program aktivitas yang bertujuan buat melakukan training seperti tadi di atas, meskipun pada hal fasilitas dan sarana prasarana berbeda. RUTAN cenderung lebih terbatas pada hal fasilitas dan sarana prasarana, mengingat tujuan awalnya hanya menjadi daerah menampung tahanan ad interim (tahanan sementara) juga terpidana yang masa pidananya kurang dari 1 tahun.
Kebebasan tahanan adalah hak istimewa yang diklaim oleh tahanan. Dalam referensi Kamus Besar Bahasa Indonesia ditegaskan bahwa kebebasan memiliki arti penting adanya hak, memiliki tempat, wewenang, kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu (karena telah diatur oleh undang-undang, peraturan, dan sebagainya), hak untuk menguasai sesuatu. atau meminta sesuatu, gelar atau bangsawan. Mengingat Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, sesuai dengan Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Administrasi Perbaikan Nomor 12 Tahun 1995, terpidana adalah orang perseorangan yang dipidana berdasarkan pilihan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang sangat lama.
Kebebasan dasar adalah hak istimewa yang dimiliki individu hanya dengan alasan bahwa mereka adalah manusia. Manusia memilikinya bukan atas dasar bahwa hal itu diberikan kepadanya oleh masyarakat atau oleh hukum yang pasti, tetapi secara eksklusif sebagai akibat dari kebangsawanannya sebagai seorang individu. Dalam pengertian ini, hak-hak istimewa ini juga tidak dapat disesuaikan yang menyiratkan terlepas dari seberapa parah seseorang telah bertemu atau betapa kejamnya mereka memperlakukan seseorang, dia tidak akan berhenti menjadi seorang individu, jadi dia benar-benar memiliki kebebasan. Ini juga berlaku untuk narapidana yang menghabiskan waktu di penjara di kantor Organisasi Restoratif dan Penahanan.
Kebebasan restriktif adalah hak istimewa yang diperhatikan oleh individu yang dipelihara. Banyak tahanan mengantisipasi bahwa hak bersyarat ini harus berusaha untuk bertindak dengan baik di penjara. Meskipun demikian, bagi para tahanan yang mengalami masalah dalam mengajukan permohonan pengampunan, mereka tampak tidak bersemangat, percaya bahwa tidak ada persyaratan untuk pemulihan di penjara dengan asumsi mereka tidak mendapatkan hak istimewa mereka. Jelas, perspektif dan pernyataan tahanan tertentu, menunjukkan kecenderungan egois atau lupa untuk bekerja pada diri mereka sendiri, dan ini dapat dilihat sebagai sikap manusia secara keseluruhan. Hak kontingen juga merupakan kekhawatiran bagi penjara karena mendapatkan pengurangan harga atau kebebasan PB mengurangi jumlah penghuni penjara.
B. Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial Dalam Aspek Hukum
Dalam konteks hak asasi manusia (HAM) dan
keadilan sosial, ada beberapa pasal dalam konstitusi dan undang-undang
Indonesia yang menjadi landasan hukum utama. Salah satu pasal yang paling
penting adalah Pasal 28A sampai 28J dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang secara
rinci menetapkan berbagai hak asasi manusia yang dilindungi, termasuk hak atas
martabat manusia, hak hidup, hak tidak disiksa, dan hak atas kebebasan beragama.
Pasal-pasal ini memberikan dasar yang kuat untuk perlindungan HAM di Indonesia,
meskipun tantangan dalam implementasinya masih ada. Selain itu, Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
menetapkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal ini
menegaskan komitmen negara untuk menciptakan kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang merata bagi semua warga negara. Prinsip keadilan sosial ini menjadi
landasan bagi berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan sosial,
pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
Di samping itu, ada juga sejumlah undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan HAM dan penegakan keadilan sosial di Indonesia. Contohnya adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mendefinisikan lebih rinci hak-hak yang dilindungi dan kewajiban negara dalam melindungi dan memajukan HAM. Undang-undang lainnya termasuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan kerangka kerja untuk penuntutan pelanggaran HAM di Indonesia. Meskipun kerangka hukum tersebut telah ada, tantangan terus muncul dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah kesenjangan antara hukum dan realitas lapangan. Meskipun ada undang-undang yang kuat, sering kali ada kesenjangan dalam penerapan dan penegakan hukum di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah terpencil atau terpinggirkan.
Selain
aspek hukum, juga penting untuk mempertimbangkan aspek budaya dan sosial dalam
upaya meningkatkan perlindungan HAM dan keadilan sosial. Indonesia memiliki
masyarakat yang beragam dengan tradisi dan budaya yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, pendekatan yang sensitif terhadap konteks lokal dan memperhatikan
kebutuhan serta kekhawatiran masyarakat adalah kunci untuk menciptakan
perubahan yang berkelanjutan. Dalam mengatasi tantangan-tantangan ini, advokasi
publik dan pendidikan mengenai HAM dan keadilan sosial menjadi sangat penting.
Melalui peningkatan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang hak-hak mereka
serta peran dan tanggung jawab negara dalam melindungi hak-hak tersebut, dapat
diharapkan akan terjadi tekanan yang lebih besar bagi pemerintah untuk
bertindak sesuai dengan komitmen HAM dan keadilan sosial.
Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi, penting untuk mengakui langkahlangkah positif yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan HAM dan keadilan sosial. Langkah-langkah tersebut meliputi pembentukan lembaga-lembaga khusus, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta adopsi kebijakankebijakan progresif yang bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan keadilan bagi semua warga negara.
C. Implikasi Hari Permasyarakatan
Hari Permasarakatan memiliki implikasi yang signifikan bagi narapidana, baik dalam konteks rehabilitasi maupun reintegrasi sosial. Berikut adalah beberapa implikasi yang dapat dijelaskan:
- Peningkatan Motivasi untuk Perubahan: Hari Permasarakatan dapat menjadi momen yang memotivasi narapidana untuk melakukan perubahan positif dalam hidup mereka. Melalui partisipasi dalam acara-acara perayaan dan kegiatan sosial, mereka dapat merasakan dukungan dan apresiasi dari lingkungan sekitar, yang dapat menginspirasi mereka untuk memperbaiki perilaku dan sikap mereka.
- Pengembangan Keterampilan dan Bakat: Narapidana yang memiliki bakat atau minat dalam seni, musik, atau keterampilan lainnya dapat memanfaatkan Hari Permasarakatan sebagai kesempatan untuk mengembangkan bakat mereka. Ini tidak hanya memberikan mereka peluang untuk mengekspresikan diri secara kreatif, tetapi juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan harga diri mereka.
- Pembangunan Hubungan Sosial Positif: Perayaan Hari Permasarakatan memungkinkan narapidana untuk berinteraksi dengan masyarakat luas dan membentuk hubungan sosial yang positif. Ini dapat membantu mereka merasa lebih terhubung dengan dunia luar, mengurangi rasa isolasi, dan memperluas jaringan dukungan sosial mereka.
- Penguatan Pendidikan dan Keterampilan Kerja: Program-program edukasi dan pelatihan keterampilan yang diselenggarakan selama Hari Permasarakatan dapat memberikan narapidana kesempatan untuk meningkatkan pendidikan mereka dan memperoleh keterampilan yang berguna untuk mencari pekerjaan setelah masa hukumannya berakhir.
- Peningkatan Kesadaran Hukum dan Tanggung Jawab: Melalui kegiatan edukasi hukum dan penyuluhan, narapidana dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang hukum, hak-hak mereka, dan tanggung jawab yang dimiliki sebagai warga negara. Ini dapat membantu mereka menjadi lebih bertanggung jawab dan menghindari perilaku kriminal di masa mendatang.
- Persiapan untuk Reintegrasi Sosial: Hari Permasarakatan juga dapat menjadi waktu yang strategis untuk mempersiapkan narapidana untuk proses reintegrasi sosial setelah mereka bebas dari penjara. Mereka dapat mengikuti program-program reintegrasi yang membantu mereka menyesuaikan diri kembali dengan masyarakat dan menghadapi tantangan yang mungkin mereka hadapi.
Dengan demikian, Hari Permasarakatan memiliki implikasi yang beragam namun positif bagi narapidana, membantu mereka dalam upaya rehabilitasi, pembangunan pribadi, dan persiapan untuk kembali ke masyarakat dengan lebih baik.
D. Upaya Menciptakan Kesetaraan dan Keadilan Narapidana
Memastikan kesetaraan dan keadilan di dalam lapas, kita tidak hanya melindungi hak-hak dasar narapidana, tetapi juga membangun dasar yang kuat untuk proses rehabilitasi yang efektif dan pembangunan masyarakat yang lebih aman dan inklusif. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi narapidana memerlukan langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan, antara lain:
- Penegakan Hukum yang Adil: Pastikan proses peradilan berjalan secara transparan, adil, dan tanpa diskriminasi berdasarkan status sosial atau ekonomi.
- Perlakuan yang Manusiawi: Implementasikan standar perlakuan yang manusiawi bagi narapidana, termasuk hak-hak dasar seperti akses kesehatan yang memadai dan perlakuan tanpa kekerasan.
- Akses Terhadap Pendidikan dan Pelatihan: Sediakan akses terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan di dalam lembaga pemasyarakatan untuk mempersiapkan narapidana menghadapi kehidupan setelah pembebasan.
- Reintegrasi Sosial yang Mendukung: Berikan program-program reintegrasi sosial yang mendukung narapidana dalam kembali ke masyarakat, termasuk akses terhadap pekerjaan dan dukungan sosial.
- Partisipasi dan Keterlibatan Narapidana: Libatkan narapidana dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kondisi mereka di dalam lembaga pemasyarakatan, dan dorong partisipasi mereka dalam program rehabilitasi dan pendidikan.
-
Pengawasan dan Evaluasi Reguler: Lakukan pengawasan independen terhadap kondisi
di dalam lembaga pemasyarakatan dan lakukan evaluasi reguler terhadap kebijakan
serta praktik untuk memastikan upaya menciptakan kesetaraan dan keadilan terus
ditingkatkan.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini secara konsisten, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih setara dan adil bagi narapidana, mendukung proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang lebih berhasil.
Setiap Narapidana adalah cerita yang belum selesai
Hari Permasyarakatan Hadir,
Sebagai bab baru penebus kesalahan dan simbol tuk meraih impian baru mereka.
Referensi:
Syasya Meutia (2022), Hari Pemasyarakatan Indonesia 27 April, Ini Sejarah di Baliknya. Detik.news
Kanya Anindita Mutiarasar (2023), Hari Bhakti Pemasyarakatan 2023: Tema dan Sejarah Peringatan 27 April. Detik News.
Penny Naluria Utami (2017). KEADILAN BAGI NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN (Justice for Convicts at the Correctionl Institutions).
Tasya Pratiwi Siregar. HAK ASASI MANUSIA DAN KEADILAN SOSIAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA: SUATU TINJAUAN KRITIS.
Ferrario M.H. Hak Narapidana dalam Perspektif HAM.