Dinamika kenaikan PPN menjadi 12%: Kebijakan Progresif atau Tindakan Represif? (Analisis dari Perspektif Ekonomi, Hukum dan Sosial)

Penulis :

Ellena Hotmaria Limbong (Ilmu Komunikasi)

Meisya Qurat Aini (Administrasi Publik)

Icha Fitriarahma (Pembangunan Sosial)


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jenis pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean Indonesia. Pajak ini merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling signifikan, karena mencakup hampir seluruh aktivitas konsumsi, baik barang maupun jasa. Dalam sistem PPN, pajak ini dikenakan pada setiap tahap proses produksi dan distribusi, mulai dari produsen, distributor, hingga pengecer, tetapi beban pajak akhirnya ditanggung oleh konsumen akhir. Pengusaha yang telah memenuhi kriteria tertentu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memiliki tanggung jawab untuk memungut, menyetor, serta melaporkan PPN yang terutang kepada negara. Saat ini, tarif umum PPN di Indonesia adalah 11%, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan akan meningkat menjadi 12% pada tahun 2025. PPN memiliki peran penting dalam menciptakan sistem perpajakan yang transparan karena setiap pelaku usaha dapat mengkreditkan pajak yang telah dibayarkan di tahap sebelumnya (input tax) terhadap pajak yang dipungut dari pembeli (output tax). Pemerintah Indonesia telah resmi menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai tanggal 1.

Januari 2025. Kenaikan tarif ini berlaku khusus untuk barang dan jasa yang termasuk dalam kategori mewah, sedangkan barang dan jasa sehari-hari yang biasa digunakan masyarakat tetap bebas dari PPN. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, yang menyatakan bahwa pengenaan tarif baru ini akan diterapkan pada barang-barang yang selama ini dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Selama periode transisi dari 1 hingga 31 Januari 2025, penghitungan PPN untuk transaksi barang mewah akan tetap menggunakan tarif 11%, meskipun dasar pengenaannya dihitung dengan rumus tarif baru. Mulai 1 Februari 2025, tarif PPN 12% akan diterapkan secara penuh. Barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12% meliputi kendaraan mewah, hunian dengan harga tinggi, serta barang-barang mewah lainnya seperti kapal pesiar dan jet pribadi. Sementara itu, barang-barang pokok seperti beras, sayuran, dan buah-buahan, serta jasa pendidikan dan kesehatan akan tetap bebas dari PPN untuk menjaga daya beli masyarakat.

Dengan demikian, meskipun tarif resmi naik menjadi 12%, dampak langsung terhadap konsumen akhir pada bulan Januari akan terasa lebih ringan karena perhitungan yang digunakan masih mengacu pada tarif lama. Sumber informasi mengenai kebijakan ini dapat ditemukan dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 dan beberapa artikel berita terkait yang menjelaskan rincian implementasi dan kategori barang yang terkena pajak.

 

  • Mengapa PPN sangat memberatkan masyarakat?

Kenaikan PPN menjadi 12% sangat memberatkan masyarakat karena menyebabkan peningkatan harga barang dan jasa di seluruh aspek kehidupan sehari-hari. Ketika PPN naik, harga kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, dan perumahan ikut naik, yang mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat, terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Selain itu, kenaikan PPN juga berdampak pada sektor layanan seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi, yang semuanya menjadi lebih mahal. Dampak ini juga dirasakan oleh dunia usaha, di mana biaya produksi dan operasional meningkat, memaksa bisnis untuk menaikkan harga jual atau mengurangi biaya, yang bisa berujung pada pemutusanb hubungan kerja (PHK). Dalam jangka panjang, kenaikan PPN dapat mengurangi daya saing produk lokal dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

 

  • Faktor yang menyebabkan kenaikan PPN 12%

Saat ini, besar tarif PPN di Indonesia adalah 11 persen yang berlaku sejak 1 April 2022 lalu. Perubahan tarif PPN di Indonesia yang sebelumnya 10 persen menjadi 11 persen telah membuat dampak yang cukup signifikan bagi masyarakat, apalagi jika PPN 12 persen diberlakukan mulai tahun depan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan beberapa alasan penyebab kenaikan PPN 12 persen yakni untuk meningkatkan pendapatan negara. Pendapatan negara menjadi tidak cukup stabil semenjak pandemi Covid-19 yang memperburuk kondisi keuangan negara. Diharapkan dengan kenaikan PPN dari 11 ke 12 persen dapat memperbaiki anggaran pemerintah.

  • PPN 12% mulai 1 Januari 2025 meliputi: Kebutuhan Pokok, Tarif Hukum dan Dsar Hukumnya mencakup:
  1. Beras
  2. Daging (sapi, ayam)
  3. Ikan
  4. Sayuran
  5. Susu segar
  6. Telur
  • Jasa
  1. Jasa pendidikan
  2. Jasa kesehatan
  3. Jasa angkutan umum
  4. Jasa sosial

Tarif hukum PPN sebesar 12% diatur dalam peraturan pemerintah yang telah disahkan. Tarif ini berlaku untuk sebagian besar barang dan jasa yang diperdagangkan di dalam negeri. Mekanisme tarif ini bekerja dengan cara menambahkan 12% dari harga jual barang atau jasa sebagai pajak yang harus dibayar oleh konsumen akhir. Misalnya, jika harga sebuah barang adalah Rp100.000, maka dengan PPN 12%, konsumen harus membayar Rp112.000. Pajak ini dikumpulkan oleh penjual dan kemudian disetorkan kepada pemerintah. Tarif ini adalah bentuk kontribusi yang wajib dipatuhi oleh semua wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan pajak.

 

Dasar hukum kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131/2024 yang berlaku mulai 1 Januari 2025. PMK ini menyatakan bahwa tarif PPN 12% dikenakan pada barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP). Selain itu, dasar hukum kenaikan PPN ini terdapat dalam undang-undang perpajakan nasional, seperti UU Pajak Pertambahan Nilai. Dalam undang-undang tersebut, dijelaskan secara rinci mengenai definisi PPN, objek pajak, tarif, serta prosedur pelaksanaannya. Kenaikan PPN menjadi 12% didasarkan pada penilaian pemerintah bahwa peningkatan tarif ini diperlukan untuk meningkatkan pendapatan negara guna membiayai pembangunan dan berbagai program sosial. Para ahli memberikan pandangannya mengenai kebijakan ini. Dr. Budi Santoso, seorang ahli ekonomi, menyebutkan, "Kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong keadilan dalam penerapan pajak."

 

Sementara itu, Dr. Andi Wijaya, ahli hukum perpajakan, menjelaskan, "Dengan tarif PPN 12%, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi dan mendukung pembangunan infrastruktur." Dr. Rina Sari, ahli akuntansi, menambahkan, "Penerapan tarif PPN 12% akan mempengaruhi harga barang dan jasa di pasar, sehingga konsumen perlu lebih bijaksana dalam mengelola anggaran." Dasar hukum ini memberikan legitimasi dan kerangka kerja bagi pelaksanaan kebijakan pajak yang bertujuan untuk mendukung kesejahteraan ekonomi nasional. Namun, kebijakan ini juga harus dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa tujuan fiskal tercapai tanpa menimbulkan beban yang terlalu berat bagi masyarakat dan dunia usaha. Evaluasi ini penting agar pemerintah dapat menyesuaikan kebijakan jika   diperlukan, untuk menjaga keseimbangan antara peningkatan pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat.

 

Pengevaluasi pemerintah. Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Selain adil, stimulus ini juga mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Keberpihakan itu dapat dilihat dari penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen ini merupakan amanah, merupakan perintah dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jadi, sesuai kesepakatan Pemerintah Republik Indonesia dengan DPR tahun 2021, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap. Dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022, ini sudah dilaksanakan; dan kemudian perintah undang-undang, dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 besok. Kenaikan secara bertahap ini dimaksud agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, terhadap inflasi, dan terhadap pertumbuhan ekonomi.

 

Kenaikan PPN 12% ini juga dapat memicu kemarahan buruh dan kelas menengah yang merasa kebijakan ini semakin membebani mereka di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Jadi setelah melihat penjelasan di atas bahwa kenaikan ppn 12% bisa saja sangat merugikan masyarakat. Isu Kenaikan PPN 12% diberitakan dalam 1.255 artikel dan 3.908 mentions, dan dibicarakan di media sosial sebanyak 10.548 mention. Sentimen isu ini (14 November 2024 s.d. 20 November 2024) terhadap Kenaikan PPN 12%:

  • Media Online: positif 45%, negatif 25%, netral 29%.
  • Media Sosial: positif 19%, negatif 79%, netral 2%.

 

 

” Perlu pendekatan yang hati-hati agar tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga menjaga kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. ”

 Anonim



REFERENSI

Yacob Yahya, 2024, Kebijakan Pajak Pro Rakyat Presiden Prabowo Tegaskan Tarif PPN 12% hanya untuk Barang dan Jasa.

URL:https://www.pajak.go.id/index.php/id/berita/kebijakan-pajak-pro-rakyat-presiden-prabowo-tegaskan-tarif-ppn-12-hanya-untuk-barangjasa

Nora Galuh Candra Asmarani, 2025, PMK Terbaru soal PPN 12% Akhirnya Terbit, Begini Perinciannya.

URL:https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1807939/pmk-terbaru-soal-ppn-12-akhirnya-terbit-begini-perinciannya.

Haryo Limanseto, 2025, Presiden Prabowo Subianto Tegaskan Pemberlakuan PPN 12% Hanya Dikenakan Terhadap Barang dan Jasa Mewah.

Novianti Setuningsih, 2024, Mengapa Pemerintah Tetap Menaikkan PPN Menjadi 12 Persen?

URL:https://nasional.kompas.com/read/2024/12/31/18522631/mengapa-pemerintah-tetap-menaikkan-ppn-menjadi-12-persen.

Sign in to leave a comment
Membangun Peradaban Dunia Yang Inklusif Melalui Generasi Muda Sebagai Pioner kesolidaritasan Internasional