Penulis Zalvia Nur Hayati
Anak merupakan karunia yang harus dilindungi, diasuh, dan dibekali ilmu agar kelak menjadi generasi penerus bangsa sehingga dapat memberikan nilai manfaat bagi dirinya dan seluruh insan di sekitarnya. Bedasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Selain itu, anak diakui sebagai individu yang kayak mendapatkan perlindungan, pemenuhan hak-hak, dan juga memiliki tanggung jawab sesuai dengan usianya, anak juga diakui sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari tindakan kekerasan, ekspoitasi, dan diskriminasi. Dilansir dari Buku Profil Anak Indonesia 2022 yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah anak Indonesia yang berusia 0-17 tahun telah mencapai 29,15% atau diperkirakan sebanyak 79.486.424 jiwa, yakni sepertiga dari total penduduk pada tahun 2021, dengan kuantitas tersebut telah diasumsikan akan memegang peranan yang krusial pada tahun 2045 mendatang yaitu bertepatan dengan 100 tahun Indonesia merdeka. Sejak tahun 1986 diselenggarakannya perayaan Hari Anak Nasional yaitu tepat pada tanggal 23 Juli, selalu dilengkapi oleh tema perayaan Hari Anak Nasional menyentuh hati yang diinisiasi oleh KemenPPPA, salah satu dari tema tersebut ialah “Wujudkan Lingkungan Ramah dan Bebas Kekerasan Terhadap Anak” pada tahun 2009, namun hingga tahun 2024 ini ironinya harapan tersebut belum dapat terwujud sesuai dengan tujuannya, karena pada kenyataannya saat ini negara Indonesia dinilai tengah berada dalam kondisi sangat darurat kekerasan terhadap anak, sejak awal tahun 2024 hingga kini, KemenPPPA telah mencatat 10.969 kasus kekerasan terhadap anak, baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal seperti kekerasan fisik, seksual, psikis, dan sosial. Tidak sampai di sana, bedasarkan data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang awal tahun 2024 sudah tercatat 141 kasus masuk terkait kekerasan pada anak, di antaranya kasus anak mengakhiri hidup. Penyebab dari sekian banyak kasus yang terjadi dipicu oleh pola asuh yang menerapkan hukuman fisik (corporal punishment) terhadap anak sebagai langkah dalam mendisiplinkan anak ketika melakukan suatu kesalahan, pada praktiknya dapat memicu kekerasan fisik pada anak (physical child abuse) yang akan meningkatkan risiko cedera yang menghasilkan luka fisik, cacat, dan bahkan kematian. Sehingga menunjukkan bahwa penerapan hukuman fisik pada anak ini mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak asasi anak menjadi alasan utama mengapa hak asasi anak diperjuangkan sehingga ditetapkannya Hari Anak Nasional pada tanggal 23 Juli.
A. Perspektif Undang-Undang Perlindungan Hak-Hak Anak di Indonesia
Anak merupakan harapan bangsa yang menentukan masa depan negara sehingga Pemerintah Indonesia bertindak dengan intensitas tinggi dengan mengakui betapa pentingnya melindungi anak-anak hingga menetapkan undang-undang untuk melindungi hak hingga kesejaheraan anak-anak yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang menjadi landasan hukum untuk perlindungan anak di Indonesia. Perlindungan anak mencakup pemberian jaminan secara menyeluruh terhadap hak-hak anak dan segala upaya untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. Perlindungan ini diberikan melalui aturan atau pedoman yang tercakup dalam landasan hukum positif atau undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak guna memastikan adanya kepastian hukum dan keadilan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
Menyatakan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. Dalam undang-undang ini juga dikatakan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia dan diakui serra dilindungi oleh hukum. Bentuk-bentuk perlindungan anak pada undang-undang ini tertera dalam:
a) Pasal 52 ayat 1 berbunyi bahwa setiap Anak wajib mendapatkan perlindungan dari Orang Tua, Masyarakat dan Negara.
b) Pasal 58 ayat 1 berbunyi bahwa setiap anak wajib memperoleh perlindungan hukum dari berbagai macam bentuk kekerasan, pelecehan seksual, serta perbuatan tidak menyenangkan.
c) Pasal 64 berbunyi bahwa Setiap anak wajib memperoleh perlindungan dari pekerjaan yang membahayakan dirinya, yang dapat mengganggu kesehatan fisik, moral, dan kehidupan sosial.
d) Pasal 65 berbunyi bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, kegiatan eksploitasi dan berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
e) Pasal 66 berbunyi bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan kebebasan dan perlakuan secara manusiawi, berhak mendapatkan bantuan hukum secara efektif, apabila berhadapan dengan hukum, berhak mendapatkan perlakuan khusus, apabila tersandung pidana dan berhak untuk memperoleh keadilan dalam pengadilan Anak.
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Pada Pasal 5 berisi tentang pelanggaran atas kekerasan rumah tangga, dari kekerasan fisik hingga psikis serta penelantaran keluarga. Bentuk perlindungan anak dalam pasal ini yaitu:
a) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, penganiyaan serta pemukulan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang mengakibatkan luka fisik atau meninggalnya anak.
b) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara psikis, seperti penghardikan, memperlihatkan gambar berbau pornografi.
c) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara seksual adalah kekerasan berupa perlakuan kontak seksual baik secara langsung maupun tidak langsung.
c) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak.
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, bentuk perlindungan anak tertera dalam:
a) Pasal 13 ayat 1 bahwa selama anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan kekerasan, penganiyaan, penelantaran dan diskriminasi dan ketidakadilan.
b) Pasal 15 bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan yang mengandung unsur kekerasan serta terlibat peperangan.
c) Pasal 16 ayat 1 bahwa Anak wajib mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, penganiayaan dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
d) Pasal 16 ayat 2 bahwa Anak wajib memperoleh kebebasan.
e) Pasal 16 ayat 3 Tentang penangkapan dan penahanan terhadap anak bisa dilakukan asalkan harus sesuai dengan hukum.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
Pada Pasal 5 berisi tentang pelanggaran atas kekerasan rumah tangga, dari kekerasan fisik hingga psikis serta penelantaran keluarga. Bentuk perlindungan anak dalam pasal ini yaitu:
a) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara fisik, adalah penyiksaan, penganiyaan serta pemukulan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang mengakibatkan luka fisik atau meninggalnya anak.
b) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara psikis, seperti penghardikan, memperlihatkan gambar berbau pornografi.
c) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara seksual adalah kekerasan berupa perlakuan kontak seksual baik secara langsung maupun tidak langsung.
d) Perlindungan hukum terhadap kekerasan anak secara sosial meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak.
Semua anak berhak atas kesejahteraan fisik dan pribadi serta perlindungan dari segala bentuk kekerasan, berhak menikmati semua hak yang dijamin dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan pasal-pasal Konvensi Hak Anak. Demikian pula, mereka berhak atas perlindungan hak-hak ini sebagaimana diatur dalam instrumen hukum yang berlaku.
B. Hukuman Fisik sebagai Pemicu Kekerasan Fisik terhadap Anak
Mendisiplinkan anak dengan menggunakan suatu hukuman kadang kala berlandaskan niat baik, namun tidak menutup kemungkinan pada penerapannya mengakibatkan keadaan yang tidak sejalan dengan niat awalnya karena memilih hukuman yang mempunyai unsur kekerasan. Hukuman fisik (corporal punishment) merupakan penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan yang mengakibatkan anak merasakan sakit atau rasa tidak nyaman guna memperbaiki, mendisiplinkan, dan menghukum perilaku anak baik oleh orang tua/wali maupun pendidik. Dalam penerapannya, hukuman fisik melibatkan tindakan memukul dengan tangan kosong, melempar, mencekik, mencubit, menampar maupun memukul dengan suatu benda seperti tongkat, hanger, dan benda lainnya. Tak hanya itu, hukuman fisik juga melibatkan tindakan pemaksaan yang sama sekali tidak jelas manfaatnya seperti memaksa anak melakukan sesuatu yang dapat menyakiti atau membuat dirinya tidak nyaman. Maka dari itu corporal punishment kerap dikaitkan dengan kekerasan fisik pada anak (physical child abuse). Berikut merupakan dampak diterapkannya hukuman fisik pada anak:
1. Rentan Mengalami Masalah Kesehatan
Hukuman fisik cenderung meninggalkan rasa sakit pada tubuh, dari luka ringan dan memar, hingga luka yang menimbulkan bekas mendalam yang dapat menyebabkan cacat fisik jangka panjang hingga yang fatal yaitu kematian. Selain itu juga dapat menimbulkan penyakit yang menyangkut internis, seperti penyakit jantung, stroke serangan panik, diabetes, dan sebagainya. Menghadapi hukuman fisik secara terus menerus dapat memperburuk sistem imun tubuh sehingga rentan terhadap penyakit.
2. Gangguan Kesejahteraan Mental
Hal ini meliputi, gangguan perilaku seperti kecemasan, depresi, hilang asa, merasa rendah diri, muncul hasrat ingin melukai diri, hingga percobaan bunuh diri. Juga ketidaktabilan emosional seperti mudah frustasi dan yang dapat berlanjut hingga dewasa.
3. Tingkah Laku Sosial
Anak yang diberikan hukuman fisik kerap tumbuh menjadi orang yang mudah merasa curiga dan sulit mempercayai orang lain hingga memicu hadirnya perasaan rendah diri dan sulit berinteraksi dan cenderung kesepian.
4. Menurunnya Kemampuan Kognitif
Fungsi otak akan menurun ketika anak menerima kekerasan fisik, hal ini menyebabkan anak sulit berkonsentrasi, penurunan prestasi akade bahkan ada penelitian yang menunjukkan kekerasan jangka panjang pada anak dapat meningkatkan risiko terjadinya demensia karena pengalaman traumatis yang dialami.
5. Merenggangkan Hubungan Keluarga
Hukuman fisik meningkatkan risiko perlakuan negatif yang sulit diubah dan bahkan permanen. Sehingga, hukuman fisik dikhawatirkan bukan menjadi sarana mendisiplinkan melainkan untuk menyalurkan perasaan geram pada anak hingga menimbulkan ketidakpercayaan antar keluarga dan kurangnya kasih sayang serta hubungan kekerabatan yang tidak rukun.
C. Indonesia Darurat Kekerasan Terhadap Anak
Sejak beberapa waktu lalu kekerasan terhadap anak seolah menjadi permasalahan terkini yang banyak diperlihatkan pada media sosial. Sebagian besar dari kasus ini disebabkan oleh kekerasan fisik dari orang tua/wali, pengasuh, maupun pendidik yang berdalih hukuman. Seolah tidak dapat dikontrol, tindakan-tindakan tersebut menjadi mimpi buruk bagi anak-anak yang mengalaminya, adapun beberapa kasus kekerasan fisik berdalih mendisiplinkan anak sebagai berikut:
Contoh Kasus 1: Anak di Tapanuli Disiksa dan Dimasukkan ke dalam Karung oleh Sang Tante.
Pada tahun 2024 tepat di bulan Mei, tengah ramai unggahan dari akun Miss Tweet di X yang salah satunya memperlihatkan seorang anak di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang menangis histeris akibat disiksa oleh tantenya sembari dimasukkan ke dalam karung goni.
Contoh Kasus 2: Anak 8 didisiplinkan oleh Orang tua dengan Kekerasan Fisik, Diikat dan Dipaksa Minum Air Mendidih.
Masih di tahun 2024, tepatnya pada bulan April di Samarinda, seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang nampak kurus harus menerima aksi keji dari ibu kandung dan ayah sambung. Di usianya yang seharusnya mendapat perhatian khusus justru dianiaya oleh orang tuanya hingga meninggalkan luka. Terlihat dari kaki kanan yang bengkak, terdapat luka yang terbuka, tak sampai di sana bahkan di tangan kanannya membekas luka akibat tersiram air mendidih atau pukulan benda tumpul. Insiden pilu itu terekam selama kurang lebih dua tahun melalui WhatsApp. Bedasarkan komunikasi warga dengan anak laki-laki tersebut, ia dianiaya oleh ayahnya karena dinilai nakal oleh orang tuanya.
Contoh Kasus 3: Anak Disiksa Hingga Tewas oleh Ayah Tiri Lantaran Tidak Ingin Tidur siang.
Pada Januari 2024 terungkap seorang anak berusia dua tahun di Jawa Tengah telah dianiaya oleh ayah tirinya lantaran geram karena korban tidak mau tidur siang. Pelaku kemudian melakukan kekerasan berupa pukulan, cubitan, dan sesekali membenturkan kepala korban ke pintu hingga tewas.
Contoh Kasus 4: Seorang Anak Selama 2 Tahun Disiksa Sang Ibu Lantaran Dinilai Nakal.
Pada awal tahun 2024, seorang anak sekolah dasar (SD) Surabaya disiksa oleh ibunya sendiri selama dua tahun, dari sang anak berusia 7 tahun hingga kini berusia 9 tahun. Salah satu bentuk penyiksaan yaitu menggunakan air panas sehingga membuat sang anak terluka pada bagian mulut dan badan yang pada akhirnya harus dirawat di rumah sakit untuk pemulihan. Setiap anaknya dinilai melakukan kesalahan, maka ibunya akan melakukan penyiksaan yang berbeda-beda.
Contoh Kasus 5: Siswa SMK Diberi Hukuman Hingga Tewas oleh Kepala Sekolah.
Pada Maret 2024 salah satu siswa SMK 1 Siduaori yang berusia 17 tahun meninggal dunia usai dianiaya oleh kepala sekolah. Kejadian ini berlangsung ketika kepala sekolah atau pelaku tengah memberi hukuman kepada korban dan 6 siswa lainnya. Diduga korban dipukuli karena menolak untuk mengangkat genset ke mobil saaat praktik kerja lapangan (PKL) di suatu kantor camat. Bedasarkan pengakuan pelaku, pelaku tidak melakukan penganiayaan melainkan hanya memberikan pembinaan. Pada kenyatannya, korban tindakan pelaku menyebabkan luka bekas pukulan pada bagian kening yang mengakibatkan salah satu saraf tidak dapat berfungsi. Sehingga keadaan korban semakin parah dan meninggal dunia setelah dirawat.
Contoh Kasus 6: Santriwati Dipukuli oleh Pengasuh Pondok Pesantren Lantaran Kamar Berantakan.
Pada bulan Mei 2024, masuk sebuah laporan terkait penganiayaan di Pondok Pesantren yang berada di Kabupaten Madiun. Kejadian dimulai pada saat pengasuh marah kepada teman-teman korban lantaran kamar yang ditempati berantakan, sehingga korban dan satu temannya berinisiatif untuk membersihkan. Pada saat korban dan temannya tengah membersihkan, seketika pengasuh melayangkan tongkat bambu hingga mengenai korban sembari bergumam seperti sedang kesal. Setelah menghempaskan, pengasuh kembali mengambil tongkat babu tersebut dan memukulkan ke korban hingga mengenai bahu lengan kiri atas yang membuat korban kesakitan dan takut.
Kekerasan merupakan perbuatan melawan hukum dan dapat dipidanakan. merupakan Meskipun kasus-kasus di atas telah ditangani dan pelaku diberikan konsekuensi bedasarkan hukum yang berlaku, namun hingga saat ini kejadian serupa kerap terjadi seolah hal tersebut pantas diabaikan. Hukuman fisik jelas salah, mendisiplinkan dengan memberikan kekerasan hanya akan merenggut masa depan sang anak. Kekerasan terjadi tidak memandang tempat dan waktu seperti tidak ada usainya, pedahal publik sudah memberikan perhatian yang besar untuk menyelamatkan anak dari belenggu kekerasan.
D. Pengendalian Perilaku Anak
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dihadapi oleh anak ketika dilahirkan ke dunia. Orang tua umumnya melihat anak mereka sebagai seorang objek yang harus dibentuk sesuai dengan yang mereka inginkan, sehingga orang tua memiliki pola asuh yang sesuai dengan kepercayaan mereka akan menghasilkan tujuan yang baik. Dalam hubungan kekerabatan dibutuhkan adanya timbal balik, sehingga masih banyak orang tua yang percaya bahwa hukuman fisik dapat mengontrol dan mendorong anak untuk menghormati dan melakukan apa yang orang tua inginkan. Selain itu orang dewasa kerap mengklarifikasi bahwa generasi sekarang sebagai generasi yang cengeng dan manja sehingga diperlukan adanya hukuman fisik bagi anak-anak mereka.
Hukuman fisik sudah jelas dapat mengganggu kesehatan fisik dan kesejahteraan anak yang juga melanggar hak asasi anak, sehingga orang tua/wali, pengasuh, dan pendidik harus bisa mengubah dan meninggalkan metode mendisiplinkan dalam bentuk kekerasan fisik seperti ini dengan mencegahnya sejak awal, yaitu dengan:
1. Konsisten dalam Menetapkan Aturan
Hal pertama yang harus dilakukan ialah memahami perilaku yang baik dan buruk, mengetahui konsekuensi dari perbuatan yang merugikan, mengajarkan anak anak untuk mengikuti peraturan yang sesuai dengan norma yang berlaku sehingga dapat saling memahami, menentukan dan menyepakati bersama peraturan yang harus dijaga secara konsisten, tanpa melibatkan kekerasan fisik..
2. Komplimen di Setiap Proses Tumbuh Kembang Anak
Anak cenderung tidak patuh dan tidak takut melanggar aturan ketika kurangnya perhatian dari lingkungan sekitarnya, sehingga memberikan komplimen atau apresiasi terhadap anak akan membantu anak memahami bahwa proses belajar merupakan hal yang penting untuk dijalani, selain itu juga menumbuhkan rasa aman bagi anak untuk menyadari bahwa proses tumbuh kembangnya didampingi baik oleh orang tua/wali maupun pendidik.
3. Memberikan Bimbingan yang Jelas
Anak usia dini tengah berada pada fase dengan keingintahuan yang sangat tinggi, sehingga ingin bereksplorasi. Namun, anak masih belum memiliki kapasitas untuk memilah hal apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk dilakukan, sehingga orang dewasa baik itu orang tua/wali maupun pendidik harus mampu memberi arahan yang jelas terhadap perilaku yang sebaiknya tidak dilakukan beserta konsekuensinya.
4. Mempererat Hubungan Positif
Hal ini bisa diwujudkan dengan menghargai setiap pendapat yang dikemukakan oleh anak. Selain itu memberikan kesempatan bagi anak untuk mengungkapkan alasan ketika anak melalukan kesalahan, dengan tidak nunjukkan penolakan, menghakimi atau memahami sebelum mengetahui yang sebenarnya terjadi, sehingga anak percaya untuk terus jujur. Juga, meluangkan waktu untuk dihabiskan bersama anak untuk sekadar mengobrol atau berbagi cerita agar saling terbuka.
5. Menjadi Teladan
Bertindak dengan penuh kesabaran dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan agar anak dapat mengamati dan mencontoh dengan baik serta mendemonstrasikan cara menyikapi hal-hal yang anak temukan dalam kesehariannya.
E. Tindakan Preventif Lawan Kekerasan pada Anak
Hukuman fisik dapat berlangsung di mana saja dan oleh siapa saja, baik itu di tempat tinggal dan sekitar tempat tinggal, sekolah, pusat berbelanja, taman bermain, dan lain sebagainya. Ketika anak mendapatkan hukuman fisik yang beralih menjadi kekerasan fisik, anak belum tahu harus melakukan hal apa selain merintih dan memberontak. Anak juga sama seperti manusia lainnya yang berhak berlindung di bawah payung hukum, maka dari itu sebagai manusia yang memiliki rasa empati mendalam untuk melindungi anak-anak yang ada di sekeliling kita, bedasarkan Modul Pencegahan Kekerasan, Penelantaran, dan Eksploitasi terhadap Anak yang disusun oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia, berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan apabila seseorang melihat, mencurigai, mendengar, dan merasakan tindak kekerasan pada anak:
1. Jaga Keselamatan dan Kendalikan Diri
Dapat mengendalikan emosi dan bersikap tenang, pastikan anak telah diamankan dari sumber ancaman, usahakan tidak bergerak seorang diri melainkan meminta bantuan dari orang lain baik itu keluarga, tetangga, teman maupun orang-orang yang ada di sekitar.
2. Tawarkan Bantuan dan Dukungan
Mendengarkan segala bentuk cerita dan alasan anak dengan sungguh-sungguh dan tanggapi dengan bijak. Selain itu pahami perasaan dan kondisi anak serta memberikan dukungan emosional yang sangat diperlukan oleh anak. Dampingi dan perhatikan anak agar bisa melalui masa-masa sulitnya akibat pengalaman buruknya.
3. Atasi Masalah dengan Tindakan yang Efektif
Usahakan untuk tidak ragu, malu, dan takut untuk melindungi pada pihak berwajib jika mencurigai, melihat, mendengar adanya tindak kekerasan pada anak. Apabila terdapat cedera maupun luka dan membutuhkan penanganan medis, segara bawa ke puskesmas/klinik/rumah sakit. Selain itu, waspada dalam menjaga privasi dan informasi pribadi anak dan keluarganya untuk menghindari kejadian yang menyulitkan merugikan.
4. Laporkan Kepada Pihak yang Tepat
Ketika melihat adanya tindak kekerasan pada anak, jangan bungkam karena kejadian serupa bisa terus terulang, laporkan pada RT, RW, aparat desa/kelurahan, petugas keamanan/satpam setempat. Selain itu, kontak dan laporkan ke pihak atau lembaga yang dapat memberikan layanan perlindungan anak, misalnya: Pekerja Sosial (Sakti Peksos) dan Pendamping PKH; PKSAI (Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif); P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak); Petugas/Kantor Polisi setempat atau ke Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) di Polres, atau Lembaga layanan lainnya yang ada di masyarakat. Juga, bisa menghubungi Telpon Pelayanan Sosial Anak (TePSA), Kemensos : 1 500 771.
Kesimpulan
Anak merupakan karunia yang harus dilindungi, diasuh, dan dibekali ilmu agar kelak menjadi generasi penerus bangsa sehingga dapat memberikan nilai manfaat bagi dirinya dan seluruh insan di sekitarnya. Mendisiplinkan anak dengan menggunakan suatu hukuman kadang kala berlandaskan niat baik, namun tidak menutup kemungkinan pada penerapannya mengakibatkan keadaan yang tidak sejalan dengan niat awalnya karena memilih hukuman yang mempunyai unsur kekerasan. Salah satu metode mendesiplinkan ialah hukuman fisik, hukuman fisik sudah jelas dapat mengganggu kesehatan fisik dan kesejahteraan anak yang juga melanggar hak asasi anak, sehingga orang tua/wali, pengasuh, dan pendidik harus bisa mengubah dan meninggalkan metode mendisiplinkan dalam bentuk kekerasan fisik seperti ini dengan mencegahnya sejak awal dengan mengubah pola asuh dan mengendalikan perilaku anak tanpa kekerasan. Anak juga sama seperti manusia lainnya yang berhak berlindung di bawah payung hukum, maka dari itu sebagai manusia yang memiliki rasa empati mendalam, penting untuk melindungi anak-anak yang ada di sekeliling kita.
"Anak-anak adalah bunga yang rapuh. Jika kita tidak merawat mereka dengan hati-hati, mereka akan layu sebelum sempat mekar."
REFERENSI
Abdi, H. (2024, Jan). Pengertian Anak Menurut Para Ahli, Undang-Undang, dan Organisasi Internasional. Liputan6. https://www.liputan6.com/hot/read/5513013/pengertian-anak-menurut-para-ahli-undang-undang-dan-organisasi-internasional?page=2
CNN Indonesia. (2024, 20 Maret). Viral Bocah di Tapanuli Tengah Disiksa Tante, Dimasukkan Dalam Karung. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240320114412-12-1076561/viral-bocah-di-tapanuli-tengah-disiksa-tante-dimasukkan-dalam-karung/amp
Fajardin, A. M. (2024, June 26). Perindo Soroti Darurat Kekerasan pada Anak, Minta Pemerintah Ambil Langkah Serius. Sindonews. https://nasional.sindonews.com/read/1403897/15/perindo-soroti-darurat-kekerasan-pada-anak-minta-bangun-angkat-serious-1719399964
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. (2023, Juli 21). Upaya Pemerintah Ciptakan Negara Ramah Anak untuk Penuhi Hak Anak Indonesia. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia. https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/berita-daerah/upaya-pemerintah-ciptakan-negara-ramah-anak-untuk-penuhi-hak-anak-indonesia
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (n.d.). PENCEGAHAN KEKERASAN, PENELANTARAN, DAN EKSPLOITASI TERHADAP ANAK. (No. dokumen 15870130163297). Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Kompas. (2024, 25 Januari). Polisi terharu dengar pengakuan anak yang 2 tahun disiksa ibu. https://surabaya.kompas.com/read/2024/01/25/225903278/polisi-terharu-dengar-pengakuan-anak-yang-2-tahun-disiksa-ibu?page=all
Kompas. (2024, 28 April). Sederet Fakta Kasus Kepsek Aniaya Siswa SMK di Nias Selatan hingga Tewas. https://medan.kompas.com/read/2024/04/28/171338478/sederet-fakta-kasus-kepsek-aniaya-siswa-smk-di-nias-selatan-hingga-tewas?page=all
Kompas. (2024, 28 Januari). Ayah Siksa Anak Tiri Lantaran Tak Mau Tidur Siang, Korban Dipukul dan Dibenturkan hingga Tewas. https://regional.kompas.com/read/2024/01/28/114901178/ayah-siksa-anak-tiri-lantaran-tak-mau-tidur-siang-korban-dipukul-dan?page=all
Kompasiana. (2024, 22 Januari). 5 Bentuk Perlindungan Anak Menurut Hukum di Indonesia. https://www.kompasiana.com/umsidamenyapa5821/65adfca7de948f5b633b0af2/5-bentuk-perlindungan-anak-menurut-hukum-di-indonesia?
Nazmi, D. & Syofyan, S. (2023). PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK ANAK DI INDONESIA DALAM RANGKA MENGELIMINIR PELANGGARAN HAK ANAK. Unes Journal of Swara Justisia, 7(2), 774-784.
Pralistio, E. (2024, 30 April). Bocah 8 tahun Disiksa, Sering Dikurung Orangtua, Diikat pakai tali, Dipukul Kalau Nakal. Prokal. https://www.prokal.co/kriminal/amp/1774597687/bocah-8-tahun-disiksa-sering-dikurung-orangtua-diikat-pakai-tali-dipukul-kalau-nakal
Smith, A. B. (2006). The State of Research on The Effects of Physical Punishment. Social Policy Journal of New Zealand, 27 (114-127).
Sulaksono, W, H. (2024, 4 Mei). Pengasuh Pondok Pesantren Nailul Munaa Madiun Diduga Aniaya Santriwati, Berujung Pelaporan. Seblang. https://seblang.com/2024/05/04/pengasuh-pondok-pesantren-nailul-munaa-madiun-diduga-aniaya-santriwati-berujung-pelaporan/
Suryaningrum, F. (2021). Cara Mendidik Anak Usia Dini. Generasi Maju. https://www.generasimaju.co.id/artikel/1-tahun/pola-asuh-anak/cara-mendidik-anak-usia-dini?
Tempo. (2024, 12 Maret). KPAI Terima 141 Aduan Kekerasan Anak Sepanjang Awal 2024, 35 Persen Terjadi di Sekolah. https://metro.tempo.co/read/1844009/kpai-terima-141-aduan-kekerasan-anak-sepanjang-awal-2024-35-persen-terjadi-di-sekolah
Wawin, T. R. F. A. M. & Arianti, R. (2024). Proses Menghadapi “Tekanan dan Badai” pada Remaja Akhir Asal NTT yang Mengalami Corporal Punishment Orang Tua. Kajian Psikologi dan Kesehatan Mental, 2(1), 1-12.
World Health Organization (2021). Corporal Punishment and Health. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/corporal-punishment-and-health