Melda (Administrasi Bisnis'22)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dan kebebasan dasar yang melekat pada diri setiap manusia sejak mereka lahir hingga meninggal dunia. Setiap manusia memiliki hak-haknya sendiri, seperti hak kebebasan berpendapat, hak memilih agamanya, dan lain sebagainya. Kita wajib menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain dan begitu juga sebaliknya. Namun pelanggaran HAM masih banyak terjadi seluruh dunia, salah satu sejarah kelam pelanggaran HAM pernah terjadi di Indonesia. Salah satu yangg menjadi sejarah kelamnya adalah “September Hitam”. September Hitam adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada serangkaian peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di Indonesia, khususnya pada bulan September. Peristiwa-peristiwa ini melibatkan kekerasan, pembunuhan, dan penindasan terhadap kelompok tertentu.
September Hitam bukan sekadar rangkaian peristiwa, namun juga meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarga mereka, serta masyarakat secara luas.Sampai hari ini, aktor intelektual dibalik rangkaian pelanggaran yang terjadi tidak pernah terungkap. Pemerintah hanya memberikan janji-janji manis untuk mengungkap dalang dibaliknya, tetapi hingga hari ini tidak pernah ditepati. Lagi-lagi kita harus menelan pil pahit pada kepercayaan yang sudah diberikan. Peringatan-peringatan terus dilakukan setiap tahunnya untuk mengenang catatan kelam di Indonesia ini, sebagai bentuk refleksi dan pengingat betapa mengerikannya peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi.
A. Peristiwa-Peristiwa Utama September Hitam
l Pembunuhan Munir (7 September 2004)
Sebagaimana telah diketahui, Munir meninggal dengan cara diracun hingga wafat dalam penerbangan Garuda Indonesia bernomor GA 974 pada Selasa, 7 September 2004. Kasus pembunuhan terhadap Munir bukanlah kasus kriminal biasa, sebab melibatkan aktor negara, pihak Garuda Indonesia, dan penuh dengan konspirasi, sehingga muatan kejahatannya bersifat struktural. Selain itu, kasus pembunuhan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan yang bukan tindak pidana biasa (ordinary crimes ), melainkan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) atau pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) atau bahkan dinilai sebagai kejahatan yang amat serius (the most serious crimes) seperti kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Oleh karena itu, kasus pembunuhan munir merupakan kejahatan yang luar biasa yang kemudian sudah seharusnya diselesaikan oleh negara. Kasus pembunuhan ini seakan tak menemukan titik usai. Karena demikian, kematian munir masih menjadi misteri, siapa dalang yang ada di baliknya dan bagaimana tanggung jawab negara akan hal ini. Kasus kematian Munir masih menyisakan tanda tanya.
Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir pada tahun 2004 melalui Keppres 111/2004 oleh pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi langkah penting dalam upaya pengungkapan kasus Munir. Namun sangat disayangkan, hasil penyelidikan TPF tersebut tidak pernah diumumkan secara resmi ke hadapan publik meskipun ketetapan dalam angka kesembilan Keppres 111/2004 telah memberikan mandat hal tersebut. Ketika negara tidak mampu untuk menyentuh aktor intelektual merupakan bentuk kegagalan negara dalam memberikan keadilan terhadap korban, Penegakan Hukum Kasus Munir tidak seperti yang diharapkan dan tidak memenuhi rasa keadilan. Pengadilan hanya mampu mengadili aktor lapangan. Sementara itu aktor intelektual pembunuhan Munir tidak mampu diungkap dalam penyidikan dan dihadapkan di muka Pengadilan sampai saat ini.
l Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984)
Peristiwa Tanjung Priok merupakan kasus bentrok antara militer dan masyarakat Tanjung Priok pada 1984. Bentrokan militer bersenjata melawan rakyat biasa ini dianggap sebagai peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru. Dalam peristiwa itu, sebanyak 24 orang tewas dan 55 korban lainnya luka-luka. Sementara itu, menurut investigasi Solidaritas Nasional atas peristiwa Tanjung Priok (Sontak) jumlah korban tewas mencapai 400 orang. Selain itu, 160 orang yang dicurigai berkaitan dengan peristiwa tersebut ditangkap oleh militer tanpa prosedur jelas dan tanpa surat perintah dari atasan. Kerusuhan di Tanjung Priok ini bermula dari cekcok antara Babinsa setempat dengan warga Tanjung Priok pada 7 September 1984. Awalnya Babinsa datang ke musala kecil bernama musala As-Sa'adah dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisikan tulisan mengenai problem yang dihadapi kaum muslimin, dan disertai pengumuman tentang jadwal pengajian yang akan datang. Keesokan harinya pada 8 September 1984, seorang oknum ABRI beragama Katholik yaitu Sersan Satu Hermanu, mendatangi musala untuk menyita pamflet yang dinilai berbau SARA. Namun tindakan Hermanu amat menyinggung perasaan umat Islam. la masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding musala dengan air got, bahkan menginjak Alquran. Tentu saja tindakannya tersebut membuat warga marah dan motor Hermanu dibakar.“Statement of Amnesty International's Concerns in Indonesia" yang diterbitkan Amnesty International pada 1985 mengungkapkan bagaimana pasukan keamanan saat itu menembaki kerumunan umat Muslim yang tengah menggelar aksi protes ke kantor polisi dan markas Kodim Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat warga yang ditahan. Tragedi Tanjung Priok pernah diproses hukum melalui Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta pada tahun 2003.
Pada pengadilan tingkat pertama, 12 terdakwa dinyatakan bersalah dan negara diinstruksikan memberikan kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi kepada korban dan keluarganya. Namun permohonan banding para terdakwa ke pengadilan tinggi tahun 2005, dikabulkan dan mereka dibebaskan. Jaksa sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang setahun kemudian ditolak dengan alasan kasus itu bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata) dan perkara ini harus diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc. Jaksa juga gagal mengungkap peran pihak yang merencanakan, surat dakwaan yang disusun dinilai lemah, dan tidak memberikan perlindungan yang memadai kepada saksi dan korban.
l Tragedi Semanggi II (24 September 1999)
Tragedi Semanggi II adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah reformasi Indonesia yang terjadi pada 24 September 1999. Para mahasiswa, buruh, dan masyarakat menolak berlakunya Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Aturan yang akan menggantikan UU Subversif karena dianggap bersifat otoriter itu dinilai tak jauh berbeda dengan UU Subversif itu sendiri. Polemik dari RUU PKB diyakini bersubstansi masih sangat beraroma represif, mengabaikan HAM, dan simbol dari keangkuhan rezim penguasa, khususnya rezim otoritarian. RUU ini dianggap mengabaikan rasa keadilan rakyat serta berpotensi menjadi celah bagi militer untuk kembali mencengkeram kekuasaan di negeri ini. TNI akan masuk dalam ranah publik sehingga dianggap berpotensi melumpuhkan komponen gerakan sipil dengan alasan keadaan bahaya. Demonstrasi telah terjadi sejak pertengahan September 1999. Namun, pada tanggal 22 September 1999, terjadi demontrasi besar-besaran dan paling marak, dari mahasiswa, masyarakat miskin kota, dan buruh di seluruh Indonesia.
Puncaknya Jumat (24/9/1999), mahasiswa turun ke jalan untuk menentang RUU PKB. Aparat membubarkan secara paksa melalui tembakan, pukulan, gas air mata, hingga injakan, sehingga menimbulkan jatuhnya korban. Pada malam itu, sekitar 300 mahasiswa berkumpul di sekitar Universitas Atmajaya Jakarta, pasca bentrok dengan aparat keamanan. Saat hendak bersiap kembali ke kampus UI, sejumlah truk aparat tiba-tiba memasuki area tersebut, memicu kepanikan di antara massa yang kemudian berlarian menyelamatkan diri. Tembakan aparat berasal dari atas truk yang sedang melaju ke arah kumpulan warga dan mahasiswa yang berada di sekitar RS Jakarta.Tembakan brutal ini mengakibatkan dua orang tewas di tempat, belasan lainnya mengalami luka-luka. Dalam pelanggaran HAM yang terjadi pada Tragedi Semanggi II, beberapa anggota polisi dan militer telah diadili dan dijatuhi hukuman terkait insiden penembakan.
Namun, proses pengadilan tersebut masih dinilai tidak mampu mengungkap siapa yang sebenarnya berada di balik penembakan. Oleh karena itu, Tim Penyelidik Fakta Independen (TPFI) mendesak pihak keamanan dan pejabat pemerintah untuk melakukan pengungkapan secara transparan. Meskipun dua puluh tahun telah berlalu, hasil penyelidikan dari TPF dan lembaga lainnya belum ditindaklanjuti secara menyeluruh oleh pemerintah. Sampai saat ini, identitas dalang di balik Tragedi Semanggi II dan peristiwa lainnya masih belum terungkap. Tragedi ini tidak hanya mencerminkan puncak ketegangan antara rakyat dan negara, tetapi juga meninggalkan warisan yang mendalam terkait perjuangan hak asasi manusia dan reformasi di Indonesia.
l Reformasi di Korupsi (24 September 2019)
Reformasi di Korupsi menjadi salah satu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998. Pada hari itu, mahasiswa dari berbagai penjuru datang dengan tuntutannya beserta dengan geramnya. Aksi tersebut menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah. Massa aksi demonstrasi itu pun berasal dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Paramadina, Universitas Trisakti, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), serta berbagai perguruan tinggi lainnya.
Aksi ini memberikan 7 tuntutan: (1) Cabut dan kaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU SDA, Terbitkan Perppu KPK, Sahkan RUU PKS dan PRT; (2) Batalkan Pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR; (3) Tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil; (4) Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera, serta membuka akses jurnalis di tanah Papua; (5) Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis; (6) Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya; (7) Tuntaskan pelangggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera. Rangkaian aksi itu pun diwarnai kericuhan antara aparat dan peserta aksi. Sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak jelas polisi melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul ke arah demonstran yang sudah tidak berdaya. Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sebanyak 3 di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala sehingga membutuhkan perawatan intensif lebih lama dibandingkan yang lainnya.
l Pembunuhan Salim Kancil (26 September 2015)
Pada 26 September 2015, seorang petani dan juga aktivis lingkungan hidup yang dikenal dengan nama Salim Kacil dibunuh secara keji. Salim dibunuh sesaat sebelum demo penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Hariyono, menugaskan sejumlah preman untuk membunuhnya. Salim hanya memiliki area sawah seluas delapan petak atau sekitar 1,5 hektar. Di lahan itulah satu-satunya sumber penghidupan Salim sekeluarga. Sawahnya berada di sekitar lokasi penambangan pasir ilegal di pesisir pantai selatan Watu Pecak. Sejak 2013 dampak pertambangan pasir sudah mulai dirasakan petani Desa Selok Awar-Awar. Irigasi pertanian rusak. Salim dan warga lainnya tidak bisa menanam padi karena dampak aktivitas tambang yang menyebabkan air laut masuk ke daratan dan menggenangi area persawahan mereka. Banyaknya dampak buruk yang ditimbulkan oleh adanya tambang pasir ilegal terhadap kehidupan warga membuat Salim Kancil dan beberapa warga kemudian membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-Awar. Anggotanya terdiri dari 12 orang dengan teman masa kecilnya, Hamid, selaku koordinator. Forum mulai bergerak memprotes penambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar sejak awal 2015.
Tetapi kenyataannya Haryono merupakan pendukung dari adanya pertambangan ilegal ini. Ia kemudian menyuruh beberapa preman untuk mengintimidasi warga-warga yang menolak tambang pasir. Intimidasi dan ancaman pembunuhan ini dibalas Salim dan warga dengan melaporkannya ke Polres Lumajang. Kasat Reskrim menanggapinya dengan menjamin keamanan anggota forum dan menjalin koordinasi dengan Polsek Pasirian. Setelah merasa aman, Forum ini mengadakan konsolidasi aksi penolakan tambang pasir pada 25 September. Rencananya aksi akan digelar keesokan hari sekitar pukul 07.30 WIB dan melibatkan warga luar forum yang bersimpati. Tetapi tanpa mereka ketahui, beberapa preman tadi juga mempersiapkan serangan balasan dan Salim dijadikan target utama karena kevokalannya di forum tersebut. Saat itu Salim seketika disergap oleh beberapa orang dan kedua tangannya diikat untuk di bawa menuju Balai Desa Selok Awar-Awar. Sepanjang jalan menuju balai desa Salim mendapatkan penganiayaan. Salim dipukul, dihantam dengan kayu dan batu uang membuat salim lemas tidak berdaya. Sesampainya di Balai Desa Salim dianiaya semakin keras dan terang-terangan dengan disaksikan masyarakat dan anak-anak yang sedang mengikuti PAUD. Pada saat itu juga Salim Kancil tewas dengan keadaan kedua tangan terikat dengan posisi tubuh tengkurap di pinggir jalan dekat pemakaman.
Pada 1 Oktober Haryono sebagai Kepala Desa Selok Awar-Awar ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Lumajang. Haryono terbukti menjadi dalang dari penganiayaan Tosan dan Salim. Serta sebagai otak pengelolaan tambang ilegal. Disamping Haryono ada Mad Dasir sebagai orang suruhan yang membawa puluhan rekan untuk melancarkan aksi tersebut. Dalam persidangan jatuh sebuah vonis jaksa penuntut umum yang menyatakan hukuman penjara seumur hidup
l Tragedi 65 (30 September 1965)
Peristiwa bersejarah yang terjadi pada malam tanggal 30 September hingga awal 1 Oktober 1965 di Indonesia. Peristiwa ini juga dikenal dengan sebutan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan Gestok (Gerakan Satu Oktober). Gerakan ini melibatkan pembunuhan tujuh perwira tinggi militer Indonesia dan beberapa orang lainnya dalam usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Secara singkat, peristiwa G30S PKI adalah agenda percobaan kudeta yang dilakukan oleh PKI pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia yang memiliki ideologi komunis. Pada masa itu, PKI terdiri dari anggota dengan berbagai latar belakang, mulai dari intelektual, buruh, hingga petani. Bahkan, pada puncak kejayaannya, PKI berhasil meraih suara terbesar keempat dalam pemilihan umum, dengan persentase suara 16,4 persen. Gerakan tersebut dipimpin langsung oleh DN Aidit yang saat itu adalah ketua dari PKI atau Partai Komunis Indonesia. Rangkuman Peristiwa G30S PKI:
- PKI mendatangi kediaman Jenderal TNI Ahmad Yani, Letnan Jenderal TNI R. Soeprapto, Letnan Jenderal TNI S. Parman, Mayor Jenderal TNI M.T Haryono, Mayor Jenderal TNI D.I Pandjaitan, Mayor Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Jenderal A.H. Nasution.
- PKI berdalih sebagai Cakrabirawa, pasukan pengawal istana yang diperintahkan untuk menjemput mereka agar menghadap ke Presiden Soekarno.
- R. Soeprapto, Sutoyo Siswomiharjo, dan S. Parman ikut dengan ajakan PKI dalam keadaan hidup. Begitu juga dengan Kapten Czi Pierre Andreas Tendean yang menjadi korban salah tangkap karena tengah berada di kediaman A.H. Nasution yang berhasil selamat dari gerakan ini.
- Keempat anggota TNI AD dibawa ke sebuah markas di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur. Begitu sampai, keempatnya dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke sebuah sumur tua yang tak terpakai dengan diameter 75 cm dan kedalaman 12 meter.
- Sementara Ahmad Yani, M.T Haryono, dan D.I Pandjaitan ditembak di kediaman masing-masing, lalu mayatnya dibawa ke markas tersebut dan juga dimasukkan ke dalam lubang yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya.
- G30S PKI menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia seperti Yogyakarta dan sekitar Jawa.
Hingga kini, peristiwa G30S/PKI masih menjadi topik yang kontroversial dan terus diperdebatkan. Beberapa pihak menilai bahwa peristiwa ini telah dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, sementara pihak lain berpendapat bahwa peristiwa ini merupakan ancaman nyata terhadap negara. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul upaya untuk melakukan evaluasi secara objektif terhadap peristiwa G30S/PKI dan mencari jalan menuju rekonsiliasi nasional. Namun, upaya ini masih menghadapi banyak tantangan. Penting untuk diingat bahwa peristiwa G30S/PKI adalah bagian kompleks dari sejarah Indonesia yang memiliki dampak yang sangat luas dan mendalam. Memahami peristiwa ini secara utuh dan objektif sangat penting untuk membangun masa depan yang lebih baik.
B. Dampak dan Akibat
- Trauma Kolektif: Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi keluarga korban. Trauma ini sulit dihilangkan dan masih terasa hingga saat ini.
- Polarisasi Politik: Peristiwa ini memicu polarisasi politik yang berkepanjangan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap PKI.
- Pelanggaran HAM Sistematis: Orde Baru melakukan pelanggaran HAM secara sistematis dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.
- Pembentukan Budaya Politik yang Represif: Selama masa Orde Baru, terbentuk budaya politik yang otoriter dan represif. Hal ini menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
- Korupsi dan KKN: Orde Baru juga ditandai dengan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini menyebabkan ketidakadilan sosial dan memperlemah perekonomian negara.
- Stigma Sosial: Stigma sosial terhadap kelompok tertentu, terutama yang dianggap terkait dengan PKI, masih dirasakan hingga saat ini. Hal ini menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.
Peristiwa September Hitam memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks bagi bangsa Indonesia. Peristiwa ini tidak hanya meninggalkan luka fisik dan psikologis, tetapi juga mewariskan berbagai persoalan yang hingga saat ini belum terselesaikan. Pemerintah harusnya terus berupaya dan tidak menutup-nutupi bukti yang ditemukan dan dalang dibalik rangkaian peristiwa kelam bangsa Indonesia ini.
C. Upaya Membangun Masa Depan yang Lebih Baik
- Pendidikan Sejarah: Pendidikan sejarah yang objektif dan kritis sangat penting untuk memberikan pemahaman yang benar kepada generasi muda tentang peristiwa ini.
- Penegakan Hukum: Pemerintah perlu terus berupaya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan mencegah terulangnya peristiwa serupa.
- Rekonsiliasi Nasional: Upaya rekonsiliasi nasional perlu terus dilakukan untuk membangun kembali kepercayaan dan persatuan bangsa.
- Penguatan Demokrasi: Kita perlu terus memperkuat demokrasi dengan cara meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses politik dan menjaga kebebasan berpendapat.
Peristiwa September Hitam adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat dilupakan. Pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa ini sangat relevan dengan tantangan yang kita hadapi saat ini. Dengan memahami sejarah dan belajar dari kesalahan masa lalu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.
Kebenaran harus terus disuarakan, Jangan biarkan terkubur!
Referensi:
Annisa (2023). G30S PKI: Sejarah, Tujuan, dan tokoh yang Gugur. https://fahum.umsu.ac.id/g30s-pki/
Raihan & Intan (2021). Tragedi Salim Kancil: Saat Aktivis Dikalahkan oleh Tambang. https://hmsejarah.fib.undip.ac.id/tragedi-salim-kancil-saat-aktivis-dikalahkan-oleh-tambang/
BEM FH UI (2023). Mengenang Peristiwa Tanjung Priok 1984. https://bemhukumunhas.com/literatur/mengenang-peristiwa-tanjung-priok-1984
Gibran & Hariyanto (2023). September Hitam: Momentum Mengenang Pelanggaran HAM. https://ftmm.unair.ac.id/september-hitam-momentum-mengenang-pelanggaran-ham/
Wahyuni (2021). Kilas Balik 22 Tahun Tragedi Semanggi II. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/24/13142061/kilas-balik-22-tahun-tragedi-semanggi-ii?page=all
Rakhmat (2021). Dua Tahun Gerakan #ReformasiDikorupsi dan 7 Tuntutan yang Terabaikan. https://nasional.kompas.com/read/2021/09/20/17271851/dua-tahun-gerakan-reformasidikorupsi-dan-7-tuntutan-yang-terabaikan?page=all